Thursday, August 23, 2012

Arya dan Mara

Title: Arya dan Mara
Rating: Mostly PG, with a slight R for gore
Language: Indonesian
Genre: Romance, drama, angst
Word count: 3,227 words

Aku menyuguhkan secangkir untuknya, dan secangkir untuk diriku sendiri. “Kau suka tempat ini?”




Arya dan Mara
Cerita Cinta di tengah Mimpi


Aku sangat tidak suka menunggunya pulang. Berdiam di belakang pintu lemari bajunya. Melamun, berpikir tidak jelas.
Lalu aku merasakan kehadiran, beberapa meter di kiri belakangku. Aku menyusup keluar lemari dan melihat jendela, senang melihat bahwa itu dia. Ia membuka gerbang dan hilang disembunyikan tembok rumah.
“Assalamu'alaikum,” aku dari sini mendengarnya bergumam kelelahan, tidak terdengar bahkan oleh orang yang terdekat darinya.
Pintu berderit sedikit saat ia masuk ke kamarnya yang sederhana ini. Ia membanting tas dan duduk dengan lega tanpa pikiran di atas kasur, sedikit senang beban terangkat dari bahunya.
Lihat dia. Lusuh dan lelah memang, kenyang sudah disiram oleh asap ibukota dan isi buku-buku yang selalu ia keluhkan setiap malam. Wajahnya merah dan penuh peluh oleh panas matahari, begitu lemah, membuat bibirnya ikut lebih merona. Rambutnya yang lurus menjadi begitu lemas, seperti bahunya.
Dia membanting diri di atas kasur dan mendesah. “Anjir males banget.”
Dia membuang napas lagi. Tidak peduli, tidak merasa, dan tidak curiga akan adanya aku.
Dia berdiri dan berjalan melewatiku, lalu mengambil baju sebelum pergi ke kamar mandi.
***
Gue sangat tidak suka dengan hawa di punggung gue ini. Rasa kaya pake sweater, padahal gue tau punggung gue sedang basah kena air shower dan dalam keadaan telanjang sama sekali. Tapi gue berusaha untuk tetap acuh dan melanjutkan mandi yang sangat (sumpah, sangat) segar ini.
Gue sedang asik-asik keramas saat tiba-tiba tengkuk gue kaya dikelitikin. Sontak gue nengok. And nothing's there.
Whatever. Gue pun melanjutkan keramas lagi.
Selesai mandi, gue menghampiri wastafel sambil handukan dan mengambil facial foam untuk cuci muka. Begitu selesai membilas, gue mencoba mengusir air dan busa yang tersisa di alis dan seluruh muka gue dengan mengusap muka, mencoba memperlambat proses membuka mata sambil sesebentar mungkin menutup mata, karena gue selalu takut sama yang namanya kaca wastafel. Semua gara-gara film-film sialan yang selalu menggunakan kaca wastafel sebagai senjata pamungkas mereka.
Gue udah sangat-sangat yakin dan mengantisipasi bahwa... bahwa akan ada someone there, over my shoulder. Dan untunglah, pas melek...
nothing was there.
Keluar kamar mandi, rasanya gue cuma pingin tidur, gak boong.
Lo gak ngerjain PR? Tanya salah satu alter ego gue.
Nggak, males. Jawab gue.
Kalo ada yang ngikutin lo di belakang gimana? Tanya alter ego yang lain, out of topic.
Apaan sih lo, jawab gue.
Gue mem-freefall-kan diri di atas kasur, dan berusaha untuk molor. Mo ada PR mo kagak, bodo amat.
***
Dasar aneh, padahal jika dia mau membuka buku, sebentar saja, aku bisa melihat matanya lebih lama.
Aku berlutut di tepi kasur, melihat wajah kerasnya yang kini luntur menjadi lugu. Aku memberanikan diri untuk menyentuh rambutnya, yang masih segar dan wangi sampo pabrik.
Lihat aku, Arya. Buka matamu.
***
Dia cewek paling, paling cantik yang pernah gue liat.
Gue lagi berjalan di sejenis padang ilalang ini, dan tiba-tiba ada dia, duduk melamun berayun-ayun di ayunan tua. Penasaran, gue mendekati dia.
Dia mendengar langkah-langkah kaki gue dan menengok. Gue suka banget suasana ini. Matahari sore mulai jingga, memantul di atas ilalang keemasan. Hangat. Kaya di videoklip.
Dia tersenyum melihat gue, dan gak ngerti kenapa, gue suka banget sama senyum itu. Seakan-akan itu senyum paling familiar yang pernah gue liat.
“Aku Mara,” kata dia, mengulurkan tangan. Wajahnya lebih putih dari gue, merona dan menguning bersama matahari sore. Rambutnya ikal tebal separuh punggung, membuat gue inget pada laut. Dia. Cantik.
Baru gue mengulurkan tangan buat ngasitau nama gue, tiba-tiba dia melayang jadi debu, dan gue tiba-tiba jatoh, kaya melangkahi anak tangga hilang.
Shit.
Gue terbangun di tengah-tengah kamar gue yang gelap malam dan ada sepasang mata sejengkal dari mata gue.
Damn. Damn. Damn. Damn. Damn.
Gue pingin, pingin banget ngibrit ke kamar nyokap gue dan nggedor-gedor kaya orang sinting, semua skenario itu udah ada di otak gue, tapi gue takut malah akan bawa lebih banyak masalah kalo gue lari.
Gue nutup mata gue sepejem-pejemnya, dan tangan dia bergerak.
Anjrit.
Gue bisa ngerasain tangan dia berapa mili dari idung gue, kerasa dinginnya. Gue sebisa mungkin menghindar dengan mundurin kepala gue, but it didn't work. Dia sliwer megang idung gue, rasanya kaya ditiup, meski ada napas dingin juga di muka gue.
Hell, gue mau keluar dari sini.
Gue masih nutup mata, menunggu reaksi berikutnya.
Tapi udah sekian detik gak ada apa-apa.
Akhirnya gue beranikan diri untuk perlahan-lahan membuka mata dan mengintip.
Gak ada apa-apa maupun perasaan presence apa-apa di punggung gue. Gue melek sedikit lebih lama untuk memastikan, dan gue meyakinkan diri gue untuk tidur lagi.
Di bagian malam yang gue paling gak suka ini; berusaha tidur, gue mencoba sebisa mungkin untuk pules secepatnya dan mikirin segala lalala yang gue lewati di sekolah atau yang akan gue lewati besok.
Dan tiba-tiba angin itu dateng lagi ngenain pipi gue.
Gue nidur-nidurin diri gue sebisa mungkin, se-sok-cuek mungkin.
***
Ceritanya, gue baru aja balik dari sekolah dan pas masuk kamar, cewek yang tadi di ayunan sekarang lagi nyender di lemari baju gue. A pleasant surprise! Tapi what the hell is she doing here?!
Dia tersenyum melihat gue, kaya senyum makasih campur senyumnya seorang istri yang baru ngeliat suaminya pulang. Gue senyumin balik dalam rangka menjaga kesopanan.
Gue duduk di atas kasur dan dia berjalan ke arah gue sampe kita cuma kepisah beberapa jengkal. Gue seneng, seneng banget ngeliatin dia, seakan-akan kita udah pacaran bertahun-tahun.
Baru aja gue mau meraih pipinya,
Gue kebangun gara-gara alarm.
***
“Kali dah. Kebanyakan nonton horor sih lo,” Wira, best friend gue, ngetawain gue. Beneran ngetawain.
“Sumpah, Wir. Itu yang namanya mata beneran mata, deket banget. Nih, baru cerita udah merinding lagi kan gue,” gue memamerkan tangan gue yang grunjul-grunjul karena bergidik. “Pantesan selama ini gue gak terlalu suka di kamar Wir. Hiih.”
“Akhirnya, temen gue laku juga...”
“Heh gila lo, gak mau ah gue.”
Wira membela diri dengan sangat, sangat logis, membuat gue merasa makin sinting. “Lho, siapa tau? Orang lo sendiri yang bilang dia cantik.”
“Ya tapi kan di mimpi, ya pas gue bangun?” gue bales argumen.
“Tetep cakep kan? Ngaku aja lu, kambing dibedakin aja lo mau, apalagi yang begini.” Wira capek ngedengerin semua bullshit tentang semalem. “Sini deh, gue ikut sama lo. Pingin tau gue.”
Dengan sangat salah pertimbangan, Wira nginep di rumah gue. Dasar goblok. Kalo kaya gini, pilihannya cuma dua: dia gak liat apa-apa, atau malah dia yang dicaplok. Gue akan senang jika yang pertama terjadi, tapi jauh lebih senang kalo yang terjadi adalah pilihan yang kedua.
 Jam sebelas, gue dan Wira akhirnya memutuskan untuk tidur, karena besok masih sekolah dan di kamar gue emang gak ada hiburan yang memadai.
***
Gue ketemu sama cewek itu lagi, hari ini dia make blus warna biru muda luntur. Begitu dia ngeliat bahwa gue lagi ngeliat dia, dia berjalan menjauh, kaya minta dikejar. Gue gak bisa gak ngikutin dia, entah kenapa gue lebih penasaran dari apapun.
Dia ngebawa gue nyebrangin seluruh padang, masuk hutan yang bagguus, bagus banget, dan kejar-kejaran kita berakhir di sebuah tepi jurang. Dengan menggoda, dia berjalan mundur, meminta gue mendekat. Begitu dia sadar bahwa kakinya udah di tepi, dia berhenti, lalu berputar memunggungi gue.
Dia melangkah, dan dengan santainya berdiri di udara, melayang. Dia mengajak gue melakukan yang sama, mengulurkan tangannya.
Gila lo, gue ragu kan. Tapi dia mengangguk, yakin banget. Akhirnya, gue melangkah perlahan ke tepi jurang dan ikut melakukan percobaan melayang itu.
Dan damn that! Gue beneran bisa melayang!
Gue jadi tau apa rasanya terbang karena dia, baik dari arti kias maupun harfiahnya.
Tapi kembali, Mara hilang jadi debu di tengah indahnya mimpi gue, dan gue kehilangan kemampuan terbang gue.
Gue terbangun karena jatoh
dan mata itu ada lagi di depan mat ague.
Shit, gue gak tau gue mau ngapain.
Gue sepelan mungkin menengok Wira yang gelaran kasur di bawah. Pipinya kebeset, berdarah. Dia gak sadar dan lagi nggaruk-garuk luka itu tanpa rasa sakit.
Pas gue balik telentang lagi, mata itu lebih deket dari tadi. Dingin, dingin banget, jidat kita hampir ketemu. Dia bau busuk, tapi wangi banget di waktu yang sama.
***
Lucu sekali. Lihat matanya yang terbelalak takut, ikut biru karena warna malam. Keringatnya mengucur perlahan dari semua pori; keringat dingin.
Jangan berani bergerak, temanmu tidak akan bangun selama aku di sini.
Aku menyentuh keningnya, ia berusaha menghindar tapi takut bergerak, hanya serapat mungkin memejamkan mata.
Aku terkekeh dan matanya terbuka lagi.
Aku mundur kembali ke balik pintu, menyaksikan ia yang dengan waswas mengawasiku.
***
Selain berusaha tidur, saat seperti ini adalah salah satu bagian malam yang paling gue gak suka. Kalo lo abis ngebunuh kecoa, dan  kecoa itu gak mati, akan sangat mungkin dia ngibrit dan ngumpet di bawah bantal lo kan?
Gue terus mengawasi sudut kamar gue yang kosong itu. Mulai hari ini, dengan resmi gue nyatakan bahwa kebencian gue terhadap sudut belakang pintu berganda lima ratus enam puluh tujuh kali lipat.
Sambil masih waspada, gue nengok dan nyoba bangunin Wira. Gue turun dari kasur gue. Gue nyeliat sudut kamar lagi. Feeling gue masih gaenak.
“Ra, Wira.” Gue panggil. Dia ngulet. “Wira, bangun Wira! Bangun!” Gue goncang badannya.
“Hngg,” jawabnya singkat, masih ngawang.
Gue mencari cara biar Wira langsung bangun, dan gue ngeliat luka dia. Gue ambil tangan Wira dan gue tempelin di luka di pipi itu.
“Anjrit!” Hasil positif: dia langsung melek. “Ouch,” dia nahan-nahan pipi, mencoba ngilangin perih. Wira ngeliat darah di tangannya dan kaget. “Apaan nih?!”
“Tadi kan gue bilang, dia ada lagi. Dia gak suka sama lu kali, makanya lo dicakar.”
“Kok lu gak bangunin gue?” dia naik bentak.
“Lo gabisa bangun. Gila Wir, lebih deket dari kemaren, anjrit gue masih deg-degan.”
“Lo positif disukain kalo kaya gini mah. Selamat ya.” Wira buang napas, terus ngomong lagi. “Kalo lo diajak nyebrang alam sama dia gimana?”
Gue gak jawab. Cuma merinding sendiri.
Sejak beberapa hari itu, malam-malam sendiri di suatu ruangan rumah gak pernah menyenangkan. Selalu ada yang ngglinding, jatoh, keangkat, bunyi, dan bergerak tanpa campur-tangan kinetik manusia.
Tapi lama-lama, somehow gue jadi kebiasa. Kalo ada pensil keangkat gitu misalnya, gue bahkan gak nengok. Gue sekedar merasa ter-inform aja.
Selain itu, gue juga jadi lebih suka tidur. Kapanpun ada kesempatan, gue selalu nyuri waktu untuk tidur, berharap bisa ketemu sama Mara dalem mimpi. Kalo dalem mimpi, dia bisa ngasitau gue semua yang gak bisa dia kasitau saat gue bangun. Tapi dia pernah ngasitau gue, bahwa dia suka banget ngeliatin gue lagi belajar atau serius gitu ngelakuin sesuatu. Merinding sih, tapi gue jadi separo lebih semangat.
Hari ini berakhir seperti biasa. Gue duduk aja di kasur. Kecapean. Gak mikir apa-apa.
Dan angin sore yang paling halus, paling sejuk, dan paling gue suka itu datang lagi.
***
Aku membelai rambut dan pipinya. Ia menutup matanya dengan tenang, senang aku datang.
“Tidur,” bisikku di telinganya, satu-satunya kata yang cukup ringan untuk kuucapkan—aku tidak sekuat itu.
Dia menarik napas untuk meyakinkan diri, lalu merebahkan diri dan memejamkan mata. Aku menghadirkannya pintu rumahku dan ia mengetuk pintu. Dia terpesona melihat rumah yang kecil ini: dinding yang hijau tenang, lantai batu, dan perabot-perabot kayu gelap.
“Rumah kamu nyaman sekali, Mara,” Arya tersenyum menatap mataku. Aku suka saat ia melembutkan nada bicaranya seperti sekarang. Aku menghampiri kompor dan mengambil teko yang bersiul, menuangkan teh yang baru saja mendidih.
Aku menyuguhkan secangkir untuknya, dan secangkir untuk diriku sendiri. “Kau suka tempat ini?”
“Suka. Suka banget.” Dia menyesap tehnya. “Kamu udah berapa lama tinggal di sini?”
“Beberapa lama setelah aku ada. Dan semakin nyaman setelah kau ada,” aku tersenyum menatapnya. “Kalau kau suka, tinggallah di sini.”
Ia mendongak kaget. Aku paham keterkejutannya. “Jangan takut. Jauh lebih sedikit masalah saat kau ada di sini, daripada saat kau bangun nanti. PR, kendaraan yang berlalu-lalang, guru-guru yang galak, patah hati… Kau tidak akan melihat itu lagi,” aku mencoba meyakinkannya.
Aku bisa melihat bahwa ia ingin sekali tinggal, tapi terlalu takut untuk mencoba. Dia hanya tersenyum sopan, lalu meminum tehnya lagi.
“Aku bisa tinggal sampai akhir minggu nanti,” dia menawarkan.
“Sungguh?!” aku melompat girang. “Oh, terima kasih, Arya!” Kuhadirkan sebuah lorong di dekat kamarku. “Kau bisa tidur di situ nanti malam.”
***
Tempat ini sempurna. Kecil, sepi, tapi enak banget. Teh yang keluar dari teko Mara, entah kenapa, anget, bukan mendidih. Dan manis dan wanginya persis yang gue suka. Kalo ditawarin, dan kalo gue lupa dengan rumah, peer, dan orang tua gue, gue mau banget hidup di sini selamanya.
Gue liat lagi mata Mara, yang nusuk, tapi lembut. Bola matanya tipis banget, seakan-akan cuma ada pupilnya, tapi gue suka mata itu, senada sama bibirnya yang kecil, merah menyala.
“Mara,” gue panggil dia, yang lagi berdiri buat ngambil teko lagi. Dia nengok ke gue. Cantik banget. “Aku gak mau bangun.” Dia tersenyum, bahagia, dalem banget. Terus dia madep kompor lagi.
“Tapi kau harus sekolah, Arya. Bangun saja dulu. Aku takut orangtuamu takut.”
Gue nunduk. Bingung. Gue gak mau bangun, tapi gue belom mau mati.
Weekend ini kami habiskan dengan semua hal yang orang mau liat. Semua hal yang mungkin terlalu unyu, terlalu manis untuk jadi nyata bagi banyak orang. Langit yang gak pernah habis, lembah berumput dengan bunga-bunga kecil, ngeliatin bintang, terbang berdua, dan semua itu.
Gue dan Mara kembali tiduran di lembah berumput bikinan Mara, tempat favorit kita. Gue menengok ke dia, dan dia ngeliat gue, sadar lagi diliatin.
Kepada siapa gue bisa boong bahwa gue sedang tidak jatuh cinta.
Gue gak bisa puas ngeliat matanya…
Dan alarm Senin pagi berdering. Rumput di lembah memendek, agak layu. Kita berdua bangun, panik. Gue ngeliat dia, mencari jawaban.
“Bangun, Arya,” dia bilang. Gue menggeleng, gak iklas untuk bahkan mikirin kamar gue yang sebetulnya juga nyaman.
Terpaksa, dia dan semua alam bikinannya kembali menghilang jadi debu, dan gue kembali bangun karena jatuh.
Gue beranjak bangun terduduk dari mimpi dua setengah hari itu. Gue udah make piyama dan kompres di jidat, nyokap gue ketiduran di sisi kasur. Gue ngebangunin nyokap gue, dan dia meluk gue erat banget, bersyukur gue ternyata masih bisa bangun. Nyokap gue ngelarang gue ke sekolah.
“Jangan Ma, aku ada ulangan,” gue berkelit. Tapi katanya gue ikut susulan aja.
Gue berdebat cukup panjang dan akhirnya berhasil tiba di sekolah jam setengah delapan. Gue baru bisa masuk kelas setengah jam kemudian karena harus berdebat lagi dengan guru menjelaskan situasi gue sepanjang weekend kemaren, untungnya didukung nyokap dan prinsip bahwa orangtualah yang paling benar di sekolah.
“Arya! Goblok lo, jangan mau lah!”
Itu respon pertama Wira abis gue cerita soal dua hari belakang. Gue baru aja mau membela diri, dia udah nyelak. “Lo gak liat pipi gue masih korengan gede-gede begini gara-gara nginep di tempat lo?! Kalo lu ternyata dimakan aja.”
Somehow, Wira ada benernya. Bisa aja semua mimpi gue cuma mimpi, dan gue mati sia-sia. Tapi gue langsung ngapus pikiran itu, gak mungkin banget. Gak mungkin aja.
Gue lebih takut bikin ortu dan orang-orang khawatir. Kali dah gue koma seumur hidup gitu hanya demi ketemu cewek yang gue suka, itu gak mungkin juga.
Gue dan Wira masih ngelanjutin makan kita, gue makan nasi dan dia makan mie ayam. “Kalo lo beneran mau ngikut dia, mending lo pikirin lagi deh. Serius gue.” Wira nasehatin gue dengan mulut penuh. “Kalo gue jadi lo, gue udah nyingkir dan rajin-rajin dzikir dari awal.”
Gue sok ketawa aja. Dia gak ngerti. Ya rasanya sama aja kaya LDR beda negara, tapi gue LDR berbatas satu tembok doang. Tembok yang gak semua orang bisa tembus. Dan gue udah tinggal selangkah lagi sebelum ngancurin tembok itu.
Pulang-pulang, gue langsung mandi karena pingin ngelama-lamain—dan pingin mandi aja, biar gak kalah wangi. Pas gue ngambil baju, lengan atas gue kaya dikepit, gue cuma bisa gerakin tangan dari siku ke bawah. Dasar nih, gue dikerjain lagi. Gue minta waktu sama Mara, dan setelah mandi, gue buru-buru makan (ditemani sendok-garpu yang klontang-klontang sendiri) dan langsung tidur.
Mara hadir dan kita ngelakuin semua rutinitas kemimpian kita yang belum gue bosen itu. Mara ngajak gue turun, dan kita mendarat di tepi sebuah danau.
“Arya,” dia manggil nama gue. Kita berdiri berhadapan, saling megang kedua tangan. “Apa… Apa kau akan tetap tinggal di sini?”
Gue ngangguk. Gak ada jawaban lain.
Terbentuk sebuah pintu doraemon gitu aja di belakang Mara. Dia tersenyum bahagia, gue terkesiap.
Dia ngelepas satu tangannya dan mulai narik tangan gue, ngajak gue untuk ikut masuk pintu itu.
Gue berhenti. Dia berbalik, mukanya sedikit kecewa. “Kenapa?” dia bertanya.
“Aku… tidak bisa ikut, Mara. Tidak sekarang,” jawab gue, tercekat. Lebih berat daripada ngomong dengan bola golf di tenggorokan. Dia ngeliat mata gue yang kebaca banget lagi ragu.
Dia memohon dengan matanya yang kecewa.
Gue menggeleng, pelan banget, dengan berat hati menolak tawaran Mara.
Mata Mara melotot, dia ngelepas tangan gue dan mulai melayang, semua hal di sekeliling gue terbakar dengan ganas.
Mara marah sejadi-jadinya di atas langit, meraung, menjerit, tangannya kemana-mana, menyobek semua awan dengan jarinya yang gue tau lembut. “Arya orang jahat! Arya orang jahat!” Mara berseru-seru, wajahnya jauh lebih serem dari saat gue ketemu dia saat bangun, ada api di matanya, seluruh badannya ngeluarin uap. Gue gak takut gak tau kenapa, tapi nyesel. Gue pingin terbang ngeraih dia, dan ngelus rambutnya, bilang bahwa gue cuma belum yakin. Tapi dia gak ngizinin gue untuk terbang.
“Jangan sentuh Mara! Arya orang jahat!” Mara semakin menjerit. Api ada di mana-mana.
“Mara! Mara tunggu aku!” gue berteriak sekuat tenaga. Dia melesat menuju muka gue dan berhenti. Dia nyengkram bahu gue dengan cakar yang dalem banget, gue yakin lengan gue tembus, rasanya perih, pelan banget, lebih sakit daripada dibakar. Gue teriak sejadi-jadinya, berharap rasa sakit itu bisa pergi. Pipi Mara yang putih ngelupas, dalemnya merah tua banget, nyaris item. Begitu juga kelopak matanya. Gue gak tega. Kalo gue bisa nangis, airmata gue udah abis mungkin.
Mara bersuara lebih seram dari pintu menderit. Semua barang makin habis terbakar, termasuk tanah tempat kita berdua berdiri.
Gue terbangun duduk, langsung teriak karena gerakan tiba-tiba itu ngagetin bahu gue yang bolong menganga. Gue megangin bahu gue dan darah ngucur sengucur-ngucurnya. Kamar gue berantakan kaya kapal pecah, ada bekas asap di dinding dan semua buku gue, beberapa angus dan beberapa lagi masih kebakar kecil. Darah ada di mana-mana. Bau busuk daging manusia, dan seberkas baunya yang harum masih ada.
Gue berusaha untuk tetap sadar—seluruh badan gue sakit, sakit banget sampe ke tulang. Mungkin tulang gue lebih ngilu daripada dibelah pelan-pelan pake gergaji tangan. Perih yang luarbiasa di tiap jengkal tubuh gue terjawab begitu gue menunduk. Baju gue separo angus dan terkoyak, ada banyak luka menganga dan luka bakar di kaki dan badan gue.
Begitu gue sadar bahwa mata gue terasa sangat capek dan kering, gue raba dan ternyata basah kaya darah juga. Sakit. Item. Itu airmata gue yang gak bisa keluar lagi.
“Mara…” gue mengerang, sesenggukan tanpa airmata.
***
Aku datang dan mendongakkan kepalanya, begitu kecewa karena harus kecewa lagi. Andai aku bisa mati lagi. Aku marah. Begitu marah. Aku menunjukkan rupaku yang paling buruk, yang lebih buruk dari apa yang semua orang pernah lihat. Lebih tengik, lebih menjijikkan.
Aku membelai puncak kepala Arya untuk terakhir kalinya dengan tanganku yang kering, berotot sedikit dan tak berbalut, dan kupatahkan betul-betul kepala itu dari lehernya, penuh dendam, darah segar masih menyembur kaget dari nadinya.
Aku menangis mengoyak-ngoyak wajah itu, dan menahan jiwanya untuk tinggal di badan, sebelum kusobek sekuat tenaga dengan semua amarahku.
Aku tidak tahu lagi.
Kamar ini hancur sama sekali. Orang-orang menyaksikan kamar ini terbakar sendiri di rumah yang utuh dari luar, sedang tidak ada yang bangun di dalam dan tidak ada yang berani mendobrak.
Aku menangis, meraung sejadi-jadinya, merasa kosong dan begitu dibohongi.
Aku menyayat pipinya dengan jemariku, mengecupnya perlahan, berharap semua mimpi itu akan kembali.
TAMAT

No comments:

Post a Comment