Rating: R for violence and cussing
Language: Indonesian
Genre: Angst
Word count: 4,544 words
Tidak semua orang bisa mengikhlaskan Cakra begitu saja.
Karura memeluk tubuh Kala yang ringkih. Deret lampu neon di atas mereka menyala putih temaram, terlalu lama tidak diganti. Gedung IX Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia sudah nyaris kosong, mungkin memang sudah kosong tanpa menghitung mereka. Kala menggeliat dan mendorong, mencoba lepas dari pelukan Karura.
“Diam, Kala,” Karura berbisik, nadanya terlanjur selalu tegas betapa pun lembutnya ia bicara. Karura mendekap Kala lebih erat, mencoba untuk lari dari kenyataan bahwa ia tidak bisa berbuat apa-apa.
“Cakra,” Kala memanggil dalam isak pelannya. Napasnya terpotong-potong, nyaris memburu. Tangannya mengepal di punggung baju Karura, matanya terpejam dan terbenam di bahu Karura. Bahu kanan Karura basah. Karura mengecup rambut hitam di kepala Kala.
“Udah,” Karura berbisik. “Malu sama itu, tuh,” Karura mengarah ke tembok di ujung lain lorong.
“Ish,” Kala tertawa. Dia paling benci ditakut-takuti. Ia menarik Karura keluar melewati pintu kaca Gedung IX dengan jemarinya yang kurus. Sudah malam. Tidak ada yang suka melewati jalan-jalan aspal UI yang hanya diterangi lampu jarang-jarang dan diapit hutan gelap. Jari-jari kurus Kala menyelinap di sela jari-jari kurus Karura yang mengambilnya hangat. Mereka berjalan ke parkiran sementara untuk motor, tanpa bicara karena mereka takut mengganggu penghuni malam Hutan Depok.
Karura mengambil motornya, menyerahkan satu helm pada Kala, menyalakan mesin, dan mengajak Kala naik sebelum membawa motor keluar parkiran yang sudah nyaris kosong.
Pipi Kala kering diterpa angin di jalan. Ketika mereka harus pulang malam seperti ini dan jalanan sepi, Karura akan selalu memacu motornya lebih cepat. Di belakang, Kala masih sibuk memikirkan Cakra dan merasakan airmata kering di wajahnya. Karura tidak suka mengobrol di perjalanan. Repot.
Mereka sampai di rumah Kala.
“Besok kamu kuliah?” tanya Karura setelah Kala turun.
“Kuliah, pagi sama siang.”
“Besok aku cuma satu matkul,” Karura melapor. Kala mengangguk-angguk.
“Aku pulang, ya,” Karura tersenyum teduh.
Kala mengangguk. “Hati-hati.”
Begitu Karura hilang di belokan, Kala berbalik dan membuka pintu. “Assalamu’alaikum.” Salam Kala selalu rendah, tahu tidak aka nada yang menjawab. Orangtuanya pasti belum pulang atau sudah tidur. Selalu begitu setiap hari.
Tas Kala tersampir di bahu, ia memeluk buku. Kala membuka sepatu dan mengambil minum sebelum naik ke kamarnya.
Kala menyalakan lampu. Tasnya ia gantung di sandaran kursi belajar. Ditenggaknya air yang tadi ia ambil, lalu ia duduk dan meletakkan gelas itu di sedikit celah yang belum tertutup kertas di meja belajarnya. Berantakan. Akhirnya ia rapikan sedikit dan ia tumpuk kertas-kerta bekas latihan presentasi, rangkuman, dan esai itu ke sudut meja.
Saat merapikan, salah satu kertas besar menarik perhatiannya. Slide presentasi yang ia cetak minggu lalu, yang semestinya ia presentasikan tadi sore bersama temannya, Cakra. Kala menatapi slide itu dengan sedih, lalu membuang napas sambil menambahkan kertas itu ke tumpukan, entah yang mana sampah yang mana masih dipakai.
Kamar Kala sederhana, meski sedikit berantakan untuk kamar anak perempuan. Meja riasnya ia gunakan sebagai tempat meletakkan gelas, makanan yang dibawa ke kamar dan laptop. Dibelikan meja rias oleh ibunya, dengan harapan anak itu mau lebih ‘cantik’ sedikit.
Tapi Kala bukan tomboy. Kala cantik, tidak hanya di mata Karura. Mata dan rambut semua orang memang hitam, tapi mata Kala dan rambutnya yang panjang dan ikal selalu lebih hitam.
Di jalan, Karura melewati lampu demi lampu yang semakin jarang. Di sisi-sisi jalan, tembok-tembok pembatas tanah memisahkan jalanan semen dan pohon-pohon pisang tanpa juragan. Rumah berdebu di ujung jalan menantinya.
Karura menambatkan sepeda motornya tidak jauh dari pintu masuk. Jendela rumah itu selalu kuning diterawang lampu, seakan tidak pernah tidur. Ia menaiki teras dan membuka pintu.
Dua pemuda seusianya menengok ke pintu dan menerima jabatan tangan Karura, lalu kembali ke lamunan mereka masing-masing.
Karura membuang napas, mencari tempat duduk. “Kapan mau ke Cakra lagi?”
Mereka mengok sejenak, lalu menggeleng. Tidak tahu.
“Bar,” panggil Karura, menuntut jawaban.
“Besok,” gumam Baram yang ditanya, kakak kandung Cakra yang memutuskan untuk tinggal di tempat ini dan tidak pulang sejak adiknya meninggal karena bunuh diri hampir seminggu lalu.
“Tirta belom balik?” tanya Karura lagi. Salah satu dari mereka, Tirta, juga menghilang sejak hari itu.
Baram menggeleng.
Karura mengumpat, menggerutu rendah. “Gak mungkin bukan dia kalo kaya gini,” ungkapnya, nyaris tertawa pahit.
“Kar, bisa berhenti gak nuduhnya? Tirta juga pasti lagi sedih, sama kaya kita. Lo tau sendiri dia deketnya kaya apa sama Cacil,” ucap orang yang duduk di seberang Baram, Ardi namanya.
“Kalo bukan dia, dia pasti berani dateng ke sini. Pada akhirnya kan yang pertama nemu rumah ini dia, yang paling sayang rumah ini dia. Dia orang yang gak mungkin pergi, Di.”
“Kar, sumpah kalo lo mau ngomongin itu lagi, gak sekarang. Tirta temen lo sendiri—“
“Tapi emang dia, Di, siapa lagi?! Kalo Cakra gak pergi sama dia kemaren—“
“Cakra pergi sendirian, anjing,” gerutu Baram sambil ia pergi ke teras, pintu tak sengaja terbanting oleh tenaga mendadak dari amarahnya.
Karura benci melihat orang yang emosi. Karura benci menenangkan orang lain, salah satu hal yang paling tidak ia kuasai.
Ruangan sunyi. Di luar, suara jangkrik, dan di dalam, suara kipas angin yang menempel di langit-langit. Ardi menengok, ingin melihat seperti apa raut muka Karura sekarang. Wajah Karura semakin keras. Ardi membuang napas. “Dibilangin,” katanya, “Lo tau sendiri Baram sensi-nya kaya apa.”
Kipas angin terus berputar begitu saja. Sunyi. Canggung. Menekan, mirip ruangan pengap.
“Kar,” panggil Ardi, menuntut respon. Sama seperti mendiang Cakra, Ardi juga orang yang wajahnya terlalu baik untuk berada di tempat seperti ini.
“Lo benci banget ya sama Tirta?” tanyanya.
Karura tertawa kecut, menggeleng. “Lo sayang banget sama Tirta?”
Ardi membuang napas. Capek. Karura dan si Tirta ini memang tidak pernah akur sejak pertama bertemu. Tidak seperti Karura yang perawakan dan air mukanya mengancam, Tirta selalu menjadi tempat orang bersandar dan kembali. Selalu hangat dan menyenangkan. Tapi Karura tahu sisi lain Tirta yang lebih dingin dari wajahnya. Entah kenapa, hanya Karura yang tidak pernah mendapat senyum Tirta seperti hanya Tirta yang tidak pernah melihat tawa Karura.
Pintu depan berderit terbuka.
“Udah nangisnya?” tanya Ardi, lalu ia tertawa sendiri. Memang bukan hal yang tepat untuk dibuat bercandaan, tapi Ardi selalu menghindari kecanggungan—meski akhirnya malah membuat canggung sendiri.
Baram masuk ke salah satu kamar tidur. Rumah itu rumah bekas yang tidak pernah dijaga dan secara de facto telah menjadi milik mereka berlima—berempat sekarang. Gagal dijual katanya, pemiliknya sudah terlalu tidak peduli untuk membayar penjaga dan sudah tidak sayang rumah kecil itu. Lagipula rumah itu terlalu jauh dari mana-mana.
Karura dan Ardi akhirnya tidur bersandar pada sofa dengan lampu menyala, kipas yang putarannya berirama, dan asbak yang sudah lama kotor di atas meja. Baram yang sedih sudah tertidur di kamar yang ia masuki.
***
“Cil! Cacil!” serunya. Cacil, mahasiswa yang sedang duduk di bangku warung nasi membelakanginya.“Oy,” Cacil melambaikan tangan setelah memutar badan. Pemuda berkulit putih-nyaris-pucat itu datang dan duduk di seberang Cacil. Tas mereka beruda lemas dan kempis, tidak berisi, khas anak malas kuliah. Di sebelah gelas es teh Cacil, sebuah buku tipis dialbeli atas nama Cakra Kamil Aditya. Di hadapan buku itu, sebuah buku pegangan yang agak tebal atas nama Tirta Bintang Satria.
“Lu habis ini ada apa?” tanya Tirta, si putih.
“Abis, gak ada lagi,” jawab Cacil, Cakra Kecil. Padahal Tirta jelas lebih pendek dari Cakra. Cakra Kecil, karena dia lulus dari program akselerasi dua kali dan masuk SD umur lima tahun, sehingga dia tiga tahun lebih muda dari kebanyakan temannya.
Cakra mengunyah nasi gorengnya. “Mau ngapain?”
“Ke Rumah yuk.” Ajak Tirta. Rumah, rumah kecil di antara tanah kosong 1.5 km dari gapura Gang Anyar. Rumah untuk mereka berlima yang terlanjur terbaur menjadi saudara.
Cakra tertawa menolak. “Jauh, anjir. Males ah gue. Di sini aja, SMS yang lain kenapa.” Cakra makan lagi, lalu dia sibuk dengan piringnya. Tirta betul-betul mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi yang lain.
“Eh,” Tirta menarik pandangan dari ponselnya. “Masih pada kuliah kan. Biarin aja deh, ntar juga ke sini.” Tirta mengantong ponselnya. “Gue mesen deh. Mas!” Tirta melambaikan tangan kearah dapur dan memesan nasi ayam ditemani es teh manis. Ia berbalik menghadap Cakra dan membuang napas, jemari mengetuk-ngetuk meja.
Cakra mendorong piringnya yang sudah kosong dan menyedot tehnya. “MU menang kan semalem. Parah, man, langsung dapet gue! gue langsung dapet 300 dari Baram.” Tirta cuma mangap kaget dan cengar-cengir karena tidak seperti orang-orang, ia tidak mengerti sepak bola. Dengan sabar Tirta mendengarkan umpatan-umpatan bangga Cacil.
“Ta! Lu denger gak sih?” Cakra menegur.
“Denger, Cil, denger, ya ampun.”
“Manggil gua ‘Cil’ tau diri dikit ngapa, kecilan elu,” Cakra tertawa. Tirta sedikit kesal dan hanya berpura-pura ingin menonjok Cakra, ikut bercanda.
Tirta memang kecil, paling kecil di antara mereka berlima. Tapi juga paling putih, mungkin se-fakultas. Bukan hanya di antara mereka, tapi mungkin di seluruh rentang Jalan Margonda Raya. Anak Indo, orang menuduh, padahal pribumi asli, ningrat pula.
Kalau Cakra… dia tepat di tengah bersama Baram berdasarkan tinggi, karena Ardi setinggi Tirta dan Karura sangat jangkung. Sangat jangkung. Jangkung yang sangat jangkung sampai terasa tidak manusiawi. Kaki Cakra boleh panjang, tapi tidak akan sepanjang kaki Karura.
Cakra mendongak dari posisinya yang menunduk. Piring Tirta berderit dan berdenting didorong menyentuh piringnya. Tirta berdiri sambil menyedot teh, macam orang buru-buru. Ia mengambil buku modul dan tas di meja. “The Patch yuk.”
***
Malam itu, Rumah sepi. Semua orang entah harus menyelesaikan tugas atau terlanjur dikurung di rumah oleh orangtua. Tapi Tirta duduk di tangga teras. Merokok. Asap tipis hilang dihisap biru malam. Tirta selalu suka Rumah, ada ataupun tidak ada yang lain.Sebuah motor Fulsar hitam, datang dengan lampu menyilaukan dan menambatkan diri di sisi Ninja biru Tirta. Tirta memicingkan mata sampai lampu itu mati bersama deru mesin.
Seorang pria jangkung turun dari motor itu dan membuka helmnya. Baru setelah ia melangkah di bawah lampu teras wajahnya terlihat. Dia Karura, sempat kaget melihat ada Tirta sebelum Tirta melihat wajahnya.
“Oy,” Karura menyapa separuh hati sambil menaiki tangga teras, lalu ia menggenggam gerendel pintu.
“Dalem kosong,” kata Tirta, badannya diputar menghadap Karura. Tapi lawan bicaranya tidak sempat mendengar kalimat itu. Pintu ditutup, dan Tirta kembali sendirian di luar.
Karura menutup pintu. Ruang tamu hari ini rapi. Sangat rapi. Lampu tetap kuning menggantung di atas, sofa tetap lusuh dan karpet tetap berdebu, tapi kulit-kulit kacang yang dari kemarin malas dibuang dan abu di asbak sudah hilang. Tas Tirta dan tas Cakra duduk di sofa yang panjang. Dua sofa lain yang mengapit meja hanya untuk diduduki satu orang. Ada Cakra ternyata. “Cil, Cacil,” panggil Karura sambil melepas jaketnya.
“Cil?” panggil Karura, lalu disampirkannya jaket di lengan sofa dan tas di atasnya. Dia ingat kata Tirta bahwa rumah kosong. Di depan juga tidak ada motor Cakra. Lalu sedang apa tas dan buku Cakra di sini? Ah, iya, mungkin Cakra Cuma menitipkan tas di sini, lalu pergi lagi. Seringkali begitu.
Karura terkekeh menertawakan dirinya sendiri, lalu melempar diri ke sofa di samping tas Tirta dan Cakra. Membuang napas. Baginya, jauh lebih baik sendirian bersama lampu kuning dan karpet berdebu daripada sendirian bersama Tirta. Karura melihat ke sampingnya, ingin tahu ada benda apa saja. Tas Tirta lunglai tanpa buku hari itu. Tidak seperti biasanya, karena tas Tirta selalu kepenuhan, hampir muntah. Di sebelah tas itu, tas Cakra juga kempis. Di depannya ada sebuah buku tipis tua, tapi sampulnya baru. Khas Cakra, slengekan tapi rapi. Di pojok kanan atas ada label namanya, dan ‘HAMLET’ judul buku itu besar-besar di tengah. Karura tertawa kecil dan mengembalikan buku itu. Jangankan bahasa Shakespeare, bahasa Inggris biasa saja sudah membuatnya sakit perut.
Di meja, ada modul Tirta yang Karura baru pelajari isinya di kelas kemarin. Sistem Mikrokontroler. Mereka sama-sama di Teknik Elektro, sama-sama pintar bergaul dengan solder. Dikumpulkan bersama begitu, semakin terbentuk jarak dan ketegangan di antara mereka.
Tapi, Karura berdiri, ngulet, dan garuk-garuk kepala. Ia ingin pergi ke kamar mandi. Karura beranjak dari tempatnya berdiri. Meraih gerendel pintu, dan memutarnya.
Kamar mandi terkunci.
Karura mengernyit bingung.
Ia mencoba-coba membuka pintu lagi, barangkali ia cuma kurang keras memutar gerendel, atau apalah. Tapi pintu tetap tidak terbuka. Akhirnya, ia memutuskan untuk bertanya pada Tirta.
Karura membuka pintu depan dan satu tangannya berpegangan pada kusen. Seakan tidak tersentak, Tirta tidak menengok. Karura bertanya. “Ta, di dalem kamar mandi ada siapa?”
Tirta memutar badan dengan muka mengernyit bingung.
“Rumah kosong, Kar.” Tirta menjawab, lugu.
“Kok kamar mandi kekunci?”
Tirta mengangkat bahu, masih mengernyit.
“Di dalem ada Cacil?”
“Ada tasnya doang dari tadi. Di kamar gak ada. Cuma naro tas kali,” jawab Tirta sambil memutar badan ke posisi semula, menatap celah di antara kedua motor mereka. Tidak ada Vespa tua Cakra di depan, setidaknya itu yang Karura lihat. Paling Tirta benar. Cakra sering mampir ke Rumah hanya untuk hal yang tidak penting seperti menitipkan buku atau numpang buang air, lalu pergi lagi dengan baju lebih rapi. Gayanya lebih sibuk dari ketua BEM. Sambil keluar, Cakra akan selalu mengambil kotak-kotak rokok yang masih penuh, atau korek nganggur, tanpa sepengetahuan siapa-siapa, membuat seisi rumah kebakaran jenggot. Si bungsu Cakra selalu iseng, selalu menggemaskan.
Karura menutup pintu tanpa mendapat jawaban berarti. Ia kembali dan mencoba membuka pintu lagi. Sebetulnya ada kamar mandi lain di belakang, tapi pintu ini terlanjur membuatnya penasaran. Karura mencoba mengetuk pintu. “Cil? Elu ya, Cil?” tanyanya, mendekatkan mulut dan satu telinga ke pintu kamar mandi.
Karura mengetuk lagi. “Cakra?”
Sunyi. Tidak ada jawaban dari dalam. Akhirnya ia berteriak ke luar, “Ta! Sumpah pintu kamar mandi lo apain.”
Tidak lama, pintu depan berayun terbuka dan Tirta masuk dengan langkah menancap. Tirta berhenti sedikit di belakang Karura.
“Pintu kamar mandi lu apain?” Karura memburu, sebelum ia betulan marah. Tidak ada orang yang berani melihat Karura marah. Karura mencoba-coba memutar pegangan pintu lagi. Tirta mengernyit.
“Sini, gue coba,” ucapnya. Tirta menggantikan tempat tangan Karura dan mencoba membuka pintu terkunci itu dengan harapan bisa membukanya. Ternyata, tetap tidak. “Kuncinya lo taro di mana?” tanya Tirta.
Karura tersadar. Oh iya. Karura meraba-raba kantong di kemeja dan celananya, dan baru ingat bahwa memang tidak ada kunci. Ia berjalan ke sofa untuk mengambil jaketnya. Karura mengambil segepok kunci dari kantong jaketnya, memilah satu demi satu kunci, yang untungnya tidak terlalu banyak. Ia berbalik pada Tirta dengan tangan hampa. “Gak ada.”
Karura mencari lagi di laci-laci meja TV tempat mereka biasa menyimpan kunci serep, dan semua kunci ada, kecuali kunci kamar mandi. Barang dicari memang tidak pernah ada saat dibutuhkan. Pasrah, Karura kembali ke depan pintu kamar mandi. “Dobrak, Ta.” Perintahnya singkat. Terpaksa ia menatap mata Tirta untuk menyamakan hitungan, lalu mereka menabrakkan bahu dengan kencang ke pintu kamar mandi.
Pintu tipis itu terbuka, gerendelnya yang masih tersangkut di kusen berdentang jatuh. Lampu kamar mandi menyala dari tadi. Di sebelah kiri, di ujung lain kamar mandi karena pintu ada di kanan, air menggenang dan dinding luar bak mandi basah. Di permukaan air bak kamar mandi yang penuh, wajah Cakra yang sudah kebiruan mengapung lemas mengikuti gerakan air. Mendongak karena kepalanya sudah ringan, matanya tertutup dan mulutnya sedikit terbuka.
“Cakra!” seru Karura sambil berlari menuju tempat itu. Karura berlutut, sebodo celananya basah kuyup. Baru ia menyentuhkan tangan ke pipi Cakra, Karura menarik tangannya. Cakra dingin. Air di bak dingin. Cakra biru, ungu mungkin. Fakta ini terlalu aneh untuk Karura. Matanya panas dan buram. Di belakangnya, Tirta berdiri beku, sama kagetnya dengan Karura. Tirta melihat Karura menunduk dengan kedua tangannya mengepal. Tirta melangkah pelan, lalu berjongkok di tepi bak untuk melihat dan menyentuh Cakra dari dekat. Hatinya perih.
Tirta menjulurkan tangannya dan menyentuh rambut Cakra yang basah. Akhirnya, ia ikut menangis.
Karura menarik napas dalam dan membuangnya perlahan. Suara terisak-isak bukan barang milik laki-laki. “Telepon Baram dan rumah sakit, Ta,” ucapnya pelan pada Tirta, nyaris bergumam.
***
“Kar,” panggil Kala lembut. Seperti hampir tiap kali sama-sama kuliah, mereka sedang duduk di Kantin Sastra, salah satu kompleks kantin terbesar di sini. “Kar,” Kala menyentuh tangan Karura. Karura keluar dari lamunannya.
“Iya, Sayang. Kenapa?” Karura tersenyum cepat, menyembunyikan lamunannya. Senyumannya kosong. Kala hanya membetulkan rambut Karura, tidak ingin bertanya ada apa (karena ia sendiri juga ingin menghindari topik tersebut). Mereka berdua sama-sama kehilangan.
“Kamu mikirin apa?” Kala bertanya, jemarinya menari-nari pelan di punggung tangan Karura.
“Nggak,” Karura tersenyum. “Makan, Kala,” ucapnya. Karura membuang napas sambil melihat Kala menciduk kembali isi mangkuknya. “Kamu deket gak sih sama Tirta?”
Kala mengernyit. “Biasa aja kayaknya,” Kala menjawab. “Kenapa? Karu cemburu yaa?”
“Heh.” Karura tertawa. “Nggak, menurut kamu, Tirta orangnya kaya apa?”
Kala terlanjur menyuap saat Karura bertanya, jadi Karura harus menunggu untuk jawaban Kala. Karura ikutan makan, kalau begitu. “Baik kok,” kata Kala, akhirnya, setelah menelan. “Ramah, murah senyum.” Kala menyeruput es jeruknya. “Kenapa Tirta?”
Karura makan lagi, seakan tidak mendengar pertanyaan Kala. Kala menunggu, lalu Karura menjawab. “Kemaren, waktu… itu, aku gak sendiri di rumah. Kamu udah denger kan kemaren aku sama Tirta?”
Karena Kala sedang menyedot minum, ia mengangguk-angguk sebelum bisa berkata, “Terus?”
Bibir Karura mengkerut sambil dia berpikir. Bagaimana caranya ia menyampaikan kalimat ini dengan benar. “Kalo Cakra ada di sana tapi motornya gak ada, dia pasti nebeng Tirta, kan? Kamu tau kan Cakra malesnya kaya apa kalo disuruh jalan kaki?”
Kala asal mengangguk, lagi sibuk membaca cerpen inggris klasik yang tadi disebar di kelas. “Berarti kalo kaya gitu, Tirta pasti ada sama Cakra sebelum kamar mandi kekunci, kan?”
Kala mengangguk-angguk lagi, lalu ia tersadar. Dengan mata terbelalak Kala mengangkat kepalanya. “Maksud kamu,” Kala mencoba mencari frasa yang tepat, “Cacil gak bunuh diri…?”
***
“Nggak, Kar, demi. Pas gue sampe, rumah emang kosong. Gue gak sama Cakra ke sini,” Tirta mengelak, tangan kanannya membentuk angka dua, tanda sumpah untuk ditunjukkan.“Udah Kar,” Ardi meraih bahu Karura dari posisi menantang Tirta agar ia mundur dan tenang. “Ikhlas Kar, ikhlas. Kasian Cakra di sana,” ucapnya, nadanya selalu lembut seperti pembawaannya.
Karura mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, tapi pada akhirnya ia menyentak tangan Ardi dan pergi ke teras meninggalkan mereka berdua sendirian. Baram tidak ada hari ini. Dia tinggal di rumahnya berusaha menghibur diri sendiri dan ibunya yang baru kehilangan si bungsu, menghadapi kenyataan bahwa tinggal mereka berdua di keluarga itu.
Di dalam, sunyi. Kipas berputar, jam berdetak, dan lampu di atas tetap kuning begitu saja. Ardi membuang napas. “Lo gak capek, Ta, kaya gini mulu sama Karura?”
Tirta menengok dan memandang Ardi dan sofa yang ia duduki, lalu membuang muka sambil tersenyum masam. “Di, bilanglah, itu bentuk sayang. Gue gak benci atau apa sama Karura.”
“Tapi Karura benci sama lo.”
Tirta tertawa kecil, lalu berdiri menghampiri Ardi. “Nggak, Di. Nggak gitu. Tenang aja kenapa,” Tirta menepuk-nepuk bahu dan kepalanya. Ardi menatap separuh bingung dengan matanya yang entah memang ragu, atau hanya terlalu belo’. Tirta tertawa melihatnya.
Di luar, Karura menatap kegelapan, bersandar pada terali kayu teras, menyerap ketenangan yang selalu ada di sekitar Rumah. Kalimat-kalimat berkelebat dan saling menghardi di dalam pikirannya. Cakra tidak mungkin datang sendiri ke Rumah tanpa motornya—dia pasti datang bersama Tirta. Tirta pasti ada saat Cakra… mengunci diri di kamar mandi, dan semestinya dia curiga karena kamar mandi dikunci terlalu lama. Tirta pasti duduk di teras hari itu karena tidak ingin memaksakan rasa bersalah bulat-bulat masuk ke mulutnya.
Karura tidak bisa membiarkan Tirta lagi kali ini. Ini saat yang tepat untuk menunjukkan kepada semua orang siapa Tirta di matanya.
Di dalam, Ardi sudah bosan memaksa Tirta mengakui bahwa ia juga membenci Karura. Lebih baik ia keluar menarik Karura kemari dan memaksa mereka berdua berdamai. Toh sebetulnya, Tirta yang meyakinkan Ardi untuk memanggil Karura kembali. Ardi berjalan menuju pintu.
Pintu terbuka oleh Karura yang air mukanya makin keras, bayangannya memayungi Ardi dengan mencekam. Karura memang sempat kaget ada orang tepat di hadapannya, tapi ia segera menyingkirkan Ardi dari jalannya dan menarik Tirta di kerah.
***
“Demi apa?!”
Tirta terpelongo takjub saat ia kesal nama Cakra tak kunjung hadir di daftar online sekutunya. Tirta sudah bersekutu dengan dua bule Amerika, satu oeang Jepang, dan satu orang Singapura, tapi layar computer di sebelahnya membuatnya kecewa: Cakra sedang asik bermain Ayodance. Tirta heran. Bahkan anak cowok seusia asli Cakra belum tentu pernah mau main game itu.
“Eh, COD, Kra, COD. Kaya alay lu mainnya Ayodance.” Tirta mengeluh.
“Hm,” jawab Cakra, jawaaban universal semua anak cowok yang sedang khusyuk main game. Panah petunjuk untuk tangan kiri dan kanan bertebaran di mana-mana. Tirta pusing melihat panah-panah itu jatuh macam hujan meteor.
Setelah cukup lama membujuk, barulah Tirta bisa mengajak Cakra bermain Call of Duty, setelah dua kali berperang sendirian. Tapi Cakra bisa main game online apa saja sambil melumat Shakespeare dan Lord Byron untuk makalah tugasnya seperti makan kacang goring. Berhubung kedua tangannya sudah penuh, ia tidak bisa membuka naskah ‘Hamlet’ yang ia beli di toko loak, dan ia bisa dengan sepenuh hati mengelahkan Tirta sekarang, setelah dua kali berperang mendukung regunya.
Dan benar, segera setelah Cakra memutuskan untuk keluar kelompok Tirta, player Tirta mati oleh headshot dari Cakra yang entah datang dari mana. Cakra tertawa puas, lalu dia memundurkan kursinya dan ngulet setelah sekian lama membungkuk di hadapan monitor.
“Aus nih gue. Mau nitip?” Cakra berdiri. Tirta tersenyum simpul dan menggeleng. Cakra menyampirkan tasnya lalu pura-pura mengingatkan Tirta yang sudah berganti membuka Firefox. “Eeh Tirta, bukanya…”
Tirta diam saja, tidak sempat mendengar bercandaan Cakra yang garing. Tirta beralih window dan menekan tombol resume, melanjutkan sesinya yang belum tamat. Ia berangkat sendiri ke medan perang melawan Taliban tidak peduli siapa sekutunya sekarang. Ia sadar sesuatu.
Tirta menekan pause dan meletakkan tasnya di kursi Cakra agar tidak ada yang menempati tempat itu. Tirta melanjutkan pertarungannya dan menang dengan selisih 960 poin dari lawannya.
Cakra kembali dengan satu kantong plastic hitam di tengah-tengah permainan Tirta. Cakra menarik kursinya dan memangku tas Tirta, lalu menyobek bungkus rotinya dan makan sambil menonton menunggu Tirta selesai. Tirta bermain dengan badan dicondongkan ke depan, mata menempel di layar mendukung kekhusyukannya bermain.
“Jir…” Tirta menggerutu. Cakra masih makan dengan muka polos begitu saja, lalu Tirta berseru kesal melempar badannya ke sandaran kursi. Dia kalah.
“Liat, Cil! Liat! Cuma beda 100, anjir! Ugh.” Tirta menyemprot. Cakra, sambil mengunyah, meraih ke dalam kantong kresek yang ia pangku. Cakra mengambil segelas minuman murah untuk ditawarkan pada Tirta. Tirta menggeleng dambil mendengus tertawa. Bocah ini. Kapan sebetulnya dia bisa serius?
“Eh bosen deh gue, balik yuk,” Cakra mengungkap, bersandar santai di kursinya. Tirta duduk bertopang dagu menghadap Cakra.
“Rumah yuk,” ajak Tirta dengan nada serupa.
Cakra berpikir-pikir dulu.
“Um,” gumamnya. Mukanya diikat di satu titik, kepalanya sibuk berpikir. “Gak ah, gue pulang aja.”
“Ngerjain presentasi yang itu ya?”
Cakra mengangguk-angguk, mulutnya masih diulir seperti tadi.
***
Cakra tercekat, punggungnya ditekan rata meresap hawa dingin dinding kamar mandi, tangannya mencoba mencengkram tangan yang mencengkramnya. Kedua tangan Cakra yang setahunya lebih berurat daripada tangan yang mencekiknya itu kini mulai letih, kehabisan tenaga dan udara. Pandangan Cakra gelap. Akhirnya ia melepas tangan-tangan di lehernya. Lebih penting berpegangan pada dinding agar tidak jatuh. Tangannya mengepal meminta bantuan, dan akhirnya napasnya bebas. Cakra menarik napas dalam dan dengan refleks melempar dengkulnya ke perut orang itu. Dia mengerang saat lutut Cakra singgah di tubuhnya, tapi ia segera mengambil kepala Cakra dan kembali membanting kepala Cakra ke tembok, dan kembali mengikat leher Cakra dengan jemarinya.“Tai lo.”
Cakra sempat menyelipkan umpatan pada dia di celah-celah napasnya. Wajah orang itu tidak berubah, hanya semakin marah, semakin keras. Ia tersenyum kecil dan membantingkan kepala Cakra ke dinding lagi, lalu tertawa.
Efek benturan terlalu keras bagi Cakra untuk betul-betul berpikir. Bukan hanya sakit di bagian belakang kepalanya, tapi pening di antara kedua matanya, dan ngilu di tulang pipi dan akar-akar giginya. Cakra memejamkan mata erat-erat mencoba mengusir rasa sakit.
Air di bak mandi terlalu banyak mengalir untk disebut gemericik—separuh bunyi kumur, separuh senandung bernyanyi. Makin lama makin sunyi, air yang ada meredam bunyi air yang masuk.
“Gue gak benci sama lo Cil, nggak,” bisiknya, dari celah-celah rahangnya yang marah gemelutuk. Di luar, di ruang tamu, baling-baling kepas berputar lugu, lampu menggantung mati karena cahaya matahari masih banyak. Di sisi buku naskah Hamlet yang duduk di sofa, duduk sebuah buku modul elektronika.
Orang itu menarik Cakra, ingin menggeret Cakra mengikutinya, tapi kaki Cakra berusaha bertahan. Napas Cakra sudah hampir habis. Sudah habis malah. Dia berhasil menarik Cakra ke tepi bak mandi, wajah Cakra sudah begitu pucat mendekati biru.
Cakra mendarat duduk di sebelah bak mandi, celananya basah oleh air yang meluap. Tangan kirinya berpegangan lemas sedangkan tangan kanannya berusaha melepaskan cekikan itu. Cakra lemah tanpa napasnya, pandangannya berputar-putar.
Kepala Cakra diangkat masuk ke bak mandi oleh kedua tangan itu. Tangan kanan Cakra menarik-narik lemas meminta agar dia berhenti, tangan kirinya segera merangkak naik.
Kepala Cakra dikeluarkan dari bak mandi, dan Cakra terlalu sibuk mencari cara untuk mengambil napasnya kembali. Ia menarik-narik tangan itu berharap tangan itu akan lepas darinya, kembali tanpa hasil.
Kedua tangan itu mencekik Cakra semakin kencang. Orang itu tersenyum lagi, lalu mencelupkan kepala Cakra lagi, kali ini lebih lama. Cakra berusaha mendongak, berusaha melepas kedua tangan itu, tapi pegangannya lepas. Dia terlanjur pingsan.
Punggung tangan orang itu basah dihiasi garis-garis air bekas tangan Cakra yang basah. Wajah Cakra masih menghadap lantai bak, masih di bawah permukaan air. Dia melepaskan kedua tangannya dari leher Cakra, lalu bingung.
Perlahan, dia mendorong Cakra masuk ke bak agar anak kecil itu tenang seperti mandi berendam.
***
Rak obat di atas wastafel menempel telanjang di dinding, pintunya yang sekaligus cermin sudah berpindah bentuk dan tempat. Hancur berkeping-keping berserakan di lantai, di wastafel, di antara kulit dan tengkorak. Beberapa pecahan dihiasi merah-merah tetesan darah dari pelipis tempat pecahan lain bersarang.Tirta mengambil napas besar dan berderit dari mulutnya, segera setelah kepalanya dijambak keluar air. Ternyata ada kalanya berlutut saja lebih melelahkan dari berlari jauh-jauh. Masih terengah-engah napas Tirta, tangan yang menarik kepalanya mengembalikan wajahnya ke bawah permukaan air sebelum ia siap. Sayup-sayup telinga Tirta mendengar umpatan, terdengar kecil dan jauh karena terhalang air. Sampai kedua bilah paru-paru Tirta panas dan sesak, bahkan lebih, orang itu masih berkata dengan nada keras, lalu baru mengizinkan Tirta bernapas lagi. Tirta mengambil napas besar-besar, terengah-engah.
Orang itu melanjutkan serangan, kata-katanya tidak terdengar jelas bagi Trta kecuali yang ia bisikkan tepat di telinganya, “Sejahat-jahatnya orang yang gue tau, belom ada yang jahatnya kaya lo.”
Hidung Tirta sakit, terlalu banyak kemasukan air. Bagian belakang kepalanya perih oleh kaca. Pelipisnya juga perih.
Ardi si pahlawan kesiangan akhirnya menyergap masuk kamar mandi, kaget karena air di bak mandi sudah kemerahan dan kepala Tirta sudah basah kuyup, luka sayat kaca di mana-mana. “Karura! Apa-apaan sih—“
“Keluar gak lo!” teriak Karura, pegangannya di rambut Tirta makin kencang. Ardi berhenti di depan toilet, membuat amarah di darah Karura semakin deras. “Keluar!”
Tirta hanya berusaha menunduk, membiarkan air jatuh dari rambutnya dan mengaliri kening dan pipinya. Ia dicelup ke bak lagi, lalu ia mendengar Karura menghardik lagi di atas permukaan, dan kepalanya diangkat. Ia menangkap, “Emang lo kan, Ta?! Iya, kan?! Tipu aja semua orang di sini!”
Wajah Tirta mendongak menatap langit-langit, rambutnya terlalu ditarik. Dia hanya meringis, sakit. Luka di pelipisnya perih, hidung dan tenggorokannya perih.
Ardi mendorong Karura lepas dari Tirta, dan Tirta yang jatuh mengambil napas lega, terbatuk-batuk memegangi dada. Ardi melangkah mundur dan diam, matanya yang selalu takut kini menonton Karura berbalik denga marah padanya. Karura datang dan mendongakkan muka Ardi dengan paksa menghadapnya.
“Gue bilang, keluar, Ardi,” ucap Karura pelan dengan amarah, penuh penekanan. Karura menyentak lepas pegangannya sehingga Ardi terlempar sedikit ke belakang. Karura membuang muka, tidak ingin melihat wajah kedua temannya.
Ardi membuang napas lelah, lalu perlahan beranjak keluar.
Karura masih melihat ke pojok tempat ia menyembunyikan pandangannya. Tirta duduk diam, tangannya masih berpegangan erat pada dinding dan tepi bak mandi.
“Sorry, Ta,” Karura bergumam, lalu ia keluar dan menutup pintu, sengaja tidak rapat.
=======
MAAF YA GAK JELAS MAHAHAHAHA I’M JUST SO PROPAGATING GALAU RIGHT NOW
Thank you for anyone reading, I appreciate your wasting time here ^^
No comments:
Post a Comment