Tugasku Membetulkan Dasimu
Kamu marah padaku. Kamu bilang, "Tentu saja kita tidak berhasil, karena kamu tidak mau percaya!"
Untuk pertama kalinya kamu menaikkan nada bicaramu.
Rusukku dingin. Aku menangis.
Kita semua diam. Yang berani bicara hanya napasku yang terisak, napasmu yang mencoba sabar, dan jam dinding yang lugu berdetak.
Kamu tidak bisa berada di tempat yang sama dengan orang yang membuatmu marah, sehingga kamu pergi. Seakan-akan kamu bilang, "anjing," saat kamu tanpa sengaja malah membanting pintu.
Perihal kamu mencintaiku atau tidak, aku tidak tahu. Yang jelas, setiap kali aku datang mengecupmu dan mengendurkan dasimu, air mukamu tidak pernah hilang lelahnya. Seakan-akan aku juga sebuah pekerjaan.
Mungkin memang aku yang terlalu banyak lari ketakutan, mungkin kamu lelah main-main mengejar.
Di satu titik aku setuju dengan sudut pandangmu, menganggap bahwa mengecupmu dan mengendurkan dasimu juga sebuah pekerjaan. Aku kadang berandai-andai saat mengendurkan dasimu, saat kau pulang dengan badan yang dingin karena terlalu banyak terkena AC dan pengharum ruangan, "Apa sebaiknya kukencangkan saja dasi ini, dan kucekik ia sampai mati?". Tapi tidak pernah kulakukan, karena aku takut dipenjara dan karena aku sudah nyaman hidup dengan kamu, meskipun jauh dari puas.
Karena aku punya urusan yang lebih baik daripada sekedar membasahi bibirmu dan mengurusi dasimu, aku terkadang membiarkanmu tidur dalam pakaian kerja, sedang aku pulang berantakan dan bau jebat. Kau lebih parah, terang-terangan bau tengik sanggama campur harum mawar. Kita berdua cuma pura-pura tidak sadar.
Saat aku masih menangisi dibentak olehmu, kamu duduk diam di ruang tamu, melihati jemarimu yang bergerak-gerak kurang kerjaan. Aku tidak pernah bangun saat kamu menarik aku dan membelai rambutku. Aku tidak pernah bangun saat kau balas mengecupku di tengah malam. Yang aku tahu, aku mengecupmu dan kamu tidak mengecupku.
Kamu membuka pintu dan melihat aku masih menangis. Aku pikir kamu tidak mencintaiku, tapi sekarang, aku jadi bingung. Aku diam saja dan terus menangis, agar terkesan aku tidak merespon terhadap kehadiranmu. Kamu berlutut di depan tempat aku duduk, lalu kamu mengecupku begitu perlahan. Seakan-akan aku tersadar bahwa aku masih mencintaimu dan tidak peduli kamu mencintai aku atau tidak.
25-08-13
Di satu titik aku setuju dengan sudut pandangmu, menganggap bahwa mengecupmu dan mengendurkan dasimu juga sebuah pekerjaan. Aku kadang berandai-andai saat mengendurkan dasimu, saat kau pulang dengan badan yang dingin karena terlalu banyak terkena AC dan pengharum ruangan, "Apa sebaiknya kukencangkan saja dasi ini, dan kucekik ia sampai mati?". Tapi tidak pernah kulakukan, karena aku takut dipenjara dan karena aku sudah nyaman hidup dengan kamu, meskipun jauh dari puas.
Karena aku punya urusan yang lebih baik daripada sekedar membasahi bibirmu dan mengurusi dasimu, aku terkadang membiarkanmu tidur dalam pakaian kerja, sedang aku pulang berantakan dan bau jebat. Kau lebih parah, terang-terangan bau tengik sanggama campur harum mawar. Kita berdua cuma pura-pura tidak sadar.
Saat aku masih menangisi dibentak olehmu, kamu duduk diam di ruang tamu, melihati jemarimu yang bergerak-gerak kurang kerjaan. Aku tidak pernah bangun saat kamu menarik aku dan membelai rambutku. Aku tidak pernah bangun saat kau balas mengecupku di tengah malam. Yang aku tahu, aku mengecupmu dan kamu tidak mengecupku.
Kamu membuka pintu dan melihat aku masih menangis. Aku pikir kamu tidak mencintaiku, tapi sekarang, aku jadi bingung. Aku diam saja dan terus menangis, agar terkesan aku tidak merespon terhadap kehadiranmu. Kamu berlutut di depan tempat aku duduk, lalu kamu mengecupku begitu perlahan. Seakan-akan aku tersadar bahwa aku masih mencintaimu dan tidak peduli kamu mencintai aku atau tidak.
25-08-13
No comments:
Post a Comment