Monday, September 1, 2014

Lipstik

24 Desember 2012

Lipstick


“Lipstik Kakak hari ini bagus.”

Kak Luno menengok padaku kaget. Ia tertawa. Aku heran sampai hari ini kenapa belum ada orang yang terbiasa dengan caraku berpendapat. “Oh ya?” Kak Luno bertanya dengan senyum, badannya sedang membungkuk siap menyuap makanan.

Kami sedang duduk di terotoar, makan bakso gerobak diam-diam di jalan kecil belakang gedung-gedung Sudirman. Lipstick Kak Luno akan luntur, tapi “biar natural, gak menor,” elaknya tiap kali aku menolak ajakannya untuk makan di emperan. Orang seperti Luno Orelio tidak semestinya makan di sini.

“Makannya pelan-pelan, nanti lipsticknya luntur,” kataku sambil tersenyum. Dia asik mengunyah. Abang baksonya bukan yang kami tahu selalu lewat.

“Bodo, nanti juga ditouch-up lagi.”

Lipstick Luno hari ini mendekati merah bata, tipis saja di atas bibirnya, sekedar memberi warna.

Kami membayar makanan kami dan berjalan kembali menuju gedung—Luno kembali dan aku mengantar, lebih tepatnya. Di ujung sana ada ruas jalan ramai lurus tanpa ujung, di sini kami dipayungi pohon rindang dan suasana perumahan. Kali ini kami diam, mungkin terlalu kenyang atau takut Luno akan terlambat.

No comments:

Post a Comment