30.09.2011
“Ayo, Kaori! Kita sudah sampai.” inochi menggamit tanganku dan dengan hati-hati mengajakku keluar dari bus. Ino memintaku berhenti. Aku menyeret kakiku lebih pelan. Ada tangga.
“Lompat!” seru Ino, lalu aku mengikutinya. Aku tertawa. Ino orang yang menyenangkan.
Kami mulai berjalan membelakangi bus yang derunya menghilang ke arah kiri telingaku. Aku meminta Inochi kembali ke sini, hanya karena aku suka sekali dengan tempat ini.
“Inochi, mataharinya hangat,” kataku sambil kami berjalan.
Ino berhenti. “Kau kepanasan?” tanyanya dengan nada peduli.
“Tidak, aku justru suka.” Aku tersenyum bingung. Aku berjalan lagi, lalu Ino mengikuti, kembali menggandengku. “Maaf ya jadi membawamu ikut kemari.”
Sunyi sejenak. Kami masih berjalan lurus. “Tidak apa-apa, aku juga suka tempat ini.”
Kami masih berjalan lurus di atas paving block kotak, di bawah matahari, di tengah riuh keramaian dan bau buah yang bercampur.
“Kao, awas selokan.”
Aku berhenti dan mencari di mana selokan itu dengan kaki kiriku, lalu aku melangkah sejauh-jauhnya.
Aku menarik Ino ke sisi kanan jalan. Ino sigap mencegahku menabrak orang-orang yang berlalu lalang. Aku menemukan tiang penyangga kios dan menumpukan badan pada sisi depan kios. “Selamat pagi!”
“Selamat pagi, Nak!” sapa suara bapak-bapak yang ramah dari arah keningku. Aku mendongak sedikit. “Kau mau jeruk?”
“Jeruk?” Aku mencari dan mengambil asal jeruk dari kios bapak itu dan menciumnya. Baunya menyenangkan sekali. Aku jadi ingin tertawa karena senang. “Jeruk Bapak pasti manis-manis.”
“Kau mau mencobanya? Biar kupotongkan. Kalau manis, belilah. Kalau masam, nanti kumarahi Pak Tani,” bapak itu tertawa. Aku ikut tertawa. Aku mengulurkan jerukku tapi ia tak kunjung mengambilnya. “Kau mau juga?”
“Oh, boleh. Terima kasih, Pak,” jawab Ino.
Bapak itu mencolek bahu kiriku dan menangkup tangan kananku untuk mengambil jeruk yang kupegang. “Ini.” Ditukarnya jerukku tadi dengan sepotong jeruk. “Ini juga,” katanya, sepertinya untuk Inochi.
“Terima kasih, Pak,” ucapku dan Inochi, hampir bersamaan.
Bau daging jeruk yang basah ini menyenangkan sekali. Pasti manis, ada sedikit jejak bau madu di dalamnya.
Aku menggigit potongan jeruk itu dan melepas daging dari kulitnya. Tanpa sadar aku tersenyum sambil mengunyah. “Enak sekali, Pak! Saya boleh beli 10?”
“Ohoho, tentu saja boleh! Sini, biar saya ambilkan yang paling harum dan paling manis.” Bapak itu kudengar menyobek kantong bungkusan buah di sebelah kanan depanku. Berisik sekali kantong itu.
“Ayo, kemari, kemari! Aku yakin kau juga ingin ikut memilih buah yang akan kau makan.”
inochi mengajakku belok kiri, tanganku masih berpegang pada sisi depan kios. Kami menaiki jalan menanjak sedikit lalu berhenti. Tangan lain yang besar dan agak kasar mengambil tangan kiriku dan menangkupkan sebuah jeruk utuh. Tanganku dibimbing ke hidungku pelan-pelan. Sambil aku mencium bau jeruk yang kupegang, ada napas yang dekat di depan mukaku.
Aku mengangguk, mengembalikan jeruk tadi.
Semua jeruk yang disodorkan bapak itu berbau manis sekali, tapi tidak berlebih. Hanya satu-dua yang aku tukar, itupun karena kulitnya agak kasar, bukan karena tidak wangi.
Kantong plasik buah yang kasar, tipis dan berisik itu berkisik-kisik di sebelah kanan persis di depan telingaku. Aku yakin Inochi sedang mengambilnya.
“750 Yen saja,” ucap Bapak Penjual Jeruk.
Klik. Kancing dompet Inochi berbunyi keras.
“Ayo, Kaori.” inochi mengajakku pergi. “Terima kasih, Pak!” seru Ino, baru dia menarikku untuk berjalan lagi.
***
Aku mbikin cerita superpendek ini karena entah kenapa aku lagi bersyukur banget punya idung. Terus aku mikir, kenapa nggak kita coba tangkap gimana kira-kira sudut pandang orang yang (maaf) nggak dikasih kesempatan untuk memandang... Karena itu juga judulnya "Sudut Indera," bukan "Sudut Pandang." Aku pingin menyampaikan, indera-indera kita kan nggak ada begitu aja. Meskipun penggunaannya nggak sadar, nggak berasa, dan nggak bisa dihentikan, kalo kita kehilangan salah satunya kan bakal berasa banget bedanya. Berasa 'bedanya' nggak pas kalian baca? Apa biasa aja? Komentar ya :D Thank youu.
Berasa,don.. Aku kan gabisa nelen jeruk (ga kekunyah) dan gasuka bau parfum mobil yg rasa jeruk (sangat menyengat) jadi agak peka soal jeruk :) Pas baca ini, kamar jadi bau jeruk.. beneran ._.
ReplyDeleteAlhamdulillah~! Ihihi seneng deh sampe berasa jeruk begitu ^^
ReplyDeleteAku juga gasuka parfum mobil rasa buah, apapun itu. Terlalu palsu, bikin cepet mabok...
betul!
ReplyDelete