Thursday, November 22, 2012

Orelio

Title: Orelio
Rating: C for Cute
Language: Indonesian
Genre: …not so sure…
Word count: 4,778 words



Pantulan wajah Luno di kaca sudah seperti lukisan di dinding. Wajah Luno selalu ada, selalu terpantul di dinding-dinding cermin studio. Datang paling cepat, pulang paling belakang. Sudah berkali-kali Luno mempertimbangkan mencuri dan menduplikat seluruh bundel kunci Studio Ardella biar dia bisa menyelinap dari sisiran satpam dan petugas kebersihan yang begitu ingin pulang.
Sore ini Luno masuk ke salah satu kelas, kelasnya di Studio Ardella, masih memakai seragam SMA. Dia berlutut dan membuka tas di atas lantai kayu yang lapang, mengambil legging dan kausnya sebelum ganti baju. Studio masih kosong—bahkan dia orang yang menyalakan lampu.
Luno keluar ruangan dan menutup pintu sebelum masuk ke ruang loker dan menukar celana abu-abunya dengan legging hitam di salah satu bilik ganti. Begitu kembali ke kelas, sudah ada Bara dan Dian. Luno menyapa mereka dan menyimpan seragam sekolah kembali ke tasnya sebelum memegangi barre sambil mengawasi gerakan kakinya di kaca.
“Pemanasan dulu kali.” Sapa Bara yang mengambil tempat tepat di sisi Luno. Luno menengok dan tertawa sedikit, melihat Bara tertawa ringan. Bara sudah hafal mati apa saja yang akan dilakukan Luno di barre untuk pemanasan. Ia berjalan meninggalkan Luno dan barre di dinding dan duduk meraih-raih jempol kakinya hanya untuk pembuktian. Di ujung lain ruangan, ada Dian yang menekuk-nekukkan kedua lututnya, mengulang-ulang plie sendirian, mengawasi postur badannya dengan hati-hati di kaca. Satu demi satu teman mereka yang lain masuk, diikuti guru mereka, Kak Tania, tanda kelas akan segera dimulai.
Kak Tania datang memeluk setumpuk kertas fotokopian, membuat orang-orang berbisik penasaran. Skors lagu baru? Atau naskah pentas besar yang dari bulan lalu dikasak-kusukkan itu?
Kak Tania duduk di lantai menunggu murid-muridnya ikut duduk membentuk lingkaran. Ada empat belas siswa di Kelas Senior Studio Ardella, semuanya hadir sore ini. “Hari ini kita reading,” Kak Tania mengumumkan, menepuk-nepukkan dasar tumpukan kertas itu ke lantai untuk merapikannya. Kak Tania menggeser tumpukan itu kepada Bara, orang yang kebetulan duduk tepat di samping kirinya. “Ini naskah buat kalian pentas Desember tahun depan.”
Pecah bisik riuh rendah, semua orang semangat menerka-nerka dengan teman di sebelahnya sambil operan terus berjalan ke sebelah kiri.
Separuh lingkaran, tumpukan itu tiba di hadapan Luno. Ia mengambil naskahnya dan mengoper tumpukan ke kiri.
Luno melihat halaman judul naskah itu. The Nutcracker. Pertunjukan yang membuatnya begitu terpesona sampai merengek-rengek mau belajar balet saat umurnya belum genap delapan. Hari ini di usianya yang hampir tujuh belas, Luno sedikitpun tidak menyesal. Rasanya tangannya bergetar dingin dan kagum memegang naskah itu, tapi saat ia melihat ke bawah, tangannya tegas dan diam.
“Pertunjukan ini hampir satu setengah jam, masing-masing bagian empat puluh lima menit. Nanti saya jelaskan adegan-adegannya; kan kalo naskah aja susah bayanginnya.”
Semua orang mengangguk-angguk sambil membolak-balik naskah, ingin tahu apa isinya.
“Kak, ini belum ada pemain-pemainnya?” tanya Nurul, salah satu murid terbaik bersama dengan Luno.
“Belum.” Kak Tania menjawab Nurul. “Minggu ini dan minggu depan kita baca naskah dan tentuin tokoh.”
Nurul mengangguk-angguk dan membalik satu halaman naskahnya, ceritanya kembali membaca.
“Kamu mau jadi Clara, Nur?”
Nurul menarik pandangannya dari kertas ke Kak Tania. Dia tahu cerita ini. Clara adalah nama anak perempuan di cerita The Nutcracker yang mendapatkan The Nutcracker sebagai hadiah natal, tokoh utama cerita tersebut. Tampil sepanjang pertunjukan: separuh di dunia nyata, separuh di alam mimpi.
Nurul bimbang. Tentu saja dia mau, tapi dia tahu betapa beratnya menghafal cerita dan koreografi, apalagi untuk satu setengah jam.
Seluruh lingkaran mulai berbisik pada Nurul membujuknya untuk setuju, beberapa bahkan langsung bertepuk memberi dukungan.
Nurul melirik ke seluruh lingkaran, mencari sedikit rasa yakin dari berpasang-pasang mata teman-temannya. Ia menarik napas ragu.
“Iya, Kak.”
Seluruh lingkaran bersorak sorai. Kalau begini ceritanya, pentas ini tentu akan sukses besar. Kak Tania segera menawarkan daftar tokoh dan pemain di kepalanya begitu keramaian reda. Ada adik Clara, ada paman Clara yang memberikan sang boneka serdadu timah, dan penari-penari utama di Negeri Mimpi. Dian, juga salah satu yang terbaik di kelas senior, mendapat peran Sugar Plum Fairy, peri yang menjaga Negeri Mimpi selama The Nutcracker menjadi boneka di dunia nyata. Tokoh itu tokoh yang sangat penting dan simbolik di bagian kedua The Nutcracker.
Tinggal tersisa nama Bara dan Luno, calon pemeran The Nutcracker dan Paman Drosselmeyer, juga dua orang terbaik di kelas terbaik. Semua orang bersorak, kubu pendukung keduanya sama besar. Yang disoraki hanya tertawa.
Luno terus ikut-ikutan tertawa sampai keributan reda. Dia tahu menjadi pemeran utama lebih mendekati sebuah kepastian daripada sebuah kemungkinan. Sama seperti orang lain, hati kecilnya justru akan heran jika bukan ia orangnya. Luno tidak mungkin menjadi peran pendukung—andai ini Peter Pan, jangankan menjadi The Lost Boys, peran sebesar Kapten Hook saja sudah salah baginya.
“Oke, Drosselmeyer-nya Bara, Nutcracker-nya Luno,” Kak Tania mengumumkan. Seisi kelas bersorak-sorai sampai salah satu dari mereka berdesis. “Selesai reading, saya mau langsung kasih beberapa bagian yang sudah ada garis besarnya.”

***

Sabtu ini. Luno menarik napas dan menumpu badan di satu lutut.
Luno memasang pointe shoe hitam di ruang kaca rumahnya yang berlampu temaram. Empat tahun yang lalu saat ia masih kelas delapan, ayahnya setuju untuk memaku cermin dan barre menutupi dua dinding salah satu kamar tamu. Di rumahnya, ada dua kamar tamu yang tidak pernah diisi, karena tidak pernah ada yang bermalam dan jarang sekali ada orang bertamu. Salah satu kamar itu menjadi ruang latihannya sekarang, lengkap dengan cermin melapisi penuh dua dinding dan lampu yang diganti jingga biar sedikit melankolis.
Luno berdiri setelah sepatunya terpasang dengan kencang, lalu ia berjalan dengan langkah panjang menuju dinding kaca di depannya, melakukan rangkaian pemanasannya biasa. Luno menatap matanya sendiri. Hitam, dipahat sejengkal lebih dalam dengan nada kemerahan dari lampu di atas. Bukan mata yang tertajam, tapi cukup jeli dan jujur untuk menyampaikan maksud tanpa bicara.
Luno melepas tangannya dari barre dan melakukan beberapa kali pirouette dan pique mengitari ruangan sebelum kembali ke tempatnya di barre tadi. Luno tidak suka berjinjit meski ia bisa. Berjinjit membuatnya terlihat lemah. Ia senang orang-orang di Studio Ardella memahami hubungan negatif itu; meskipun diajarkan, para murid laki-laki tidak akan melakukan pointe hampir dalam gerakan apapun. Luno senang bisa menjadi orang yang lebih kuat dengan disiplin yang ia dapat.
Luno mundur dan menari lagi, ingin melompat sangat besar mengambil grand jete andai ruangan itu cukup besar. Berpura-pura menjadi serdadu berbaju merah yang ia inginkan, The Nutcracker, sampai ia merasa satu dengan serdadu berbaju merah itu. Luno terus bergerak sampai ia cukup lelah. Sambil berputar, ia ingat bahwa Nutcracker tampil luarbiasa sepanjang pentas yang ia tonton dulu, dan setelah mengerti ballet, ia sekarang tahu bahwa gerakan-gerakan itu susah. Luno terus bergerak dibatasi tembok-tembok ruangan, lalu memutuskan untuk berputar kembali menuju barre.
Kalau di kelas ia datang paling pagi dan orang yang menyusul adalah Bara, ia akan melakukan pemanasan sambil ditonton Bara dari kaca, lalu Bara akan tertawa dan berkata bahwa Luno harus mengendurkan ikatan. Tenang. Hidup lebih pelan, atau nanti dia akan terlihat sepuluh tahun lebih tua dari Bara. Luno tidak pernah bisa mengerti konsep-konsep dari Bara karena berjalan lebih pelan sangat merugikan baginya—untuk apa menjaring dengan lambat dan mendapat dua ikan kalau bisa menjaring dengan cepat dan mendapat sepuluh ikan. Luno melakukan satu pirouette lagi sambil memikirkan bagaimana Bara selalu bisa melakukannya dengan tepat dan tanpa khawatir lalu tertawa lagi saat duduk kembali seakan-akan ia tidak akan mati menghadapi kuis dari dosen fisikanya atau besok pagi.
Luno berhenti. Melihat dirinya sendiri terengah-engah, ia tertawa, kecil saja. Meskipun tidak suka, ia paling puas berada dalam keadaan ini: terengah-engah sampai napasnya terasa dingin di langit-langit mulut, jantung berdetak terlalu kencang sampai mengetuk-ngetuk rusuk. Luno menyeringai menertawakan dirinya sendiri, pada pangeran berbaju merah dalam dirinya. Hidungnya kecil, tidak seperti hidung sang Serdadu Timah seharusnya. Bukan hidung kecil boneka, tapi bukan juga hidung pesek yang jelek, tapi tetap saja bukan hidung yang mancung.
Ia menarik napas dan mundur lagi ke tengah ruangan untuk melakukan hitungan demi hitungan yang diajarkan Kak Tania Rabu kemarin, sebuah pas de deux—tarian untuk berdua—sesekali diam atau berpura-pura menyambut gerakan Nurul yang memerankan Clara. Ruangan sunyi, hanya ada bunyi tepuk sepatu pointe Luno dengan lantai. Dia menari sambil memutar lagu ini di kepalanya. Ruangan ini dingin menyengat, pendingin udaranya terlalu lama dinyalakan. Luno ingin menjadi Nutcracker yang hebat dan diingat.

***

“Bukan, Ardan, bukan!” Luno berteriak dengan frustrasi. Hari itu, setelah janjian untuk tiba lebih pagi di Studio Ardella, Luno mencoba membetulkan posisi temannya, Ardan, dalam melakukan grand pose yang akan menutup perannya di pentas bulan depan. Tinggal dua puluh menit lagi waktu Luno sebelum yang lain mulai berdatangan dan Ardan harus memamerkan hasil latihannya. Hari itu tiga tahun yang lalu Luno masih kelas sembilan, dan temannya, Ardan, baru masuk SMA.
Ardan bisa melihat bahwa dia sudah membuat Luno lebih dari jengah hanya untuk hitungan terakhir ini. Ardan yang berawak ringkih terlihat makin kecil di hadapan Luno yang seram. “Yaudah, Lun, nanti bisa diurus—”
“Apa yang mau diurus?” selak Luno, membuatnya tersentak. “Kalo kaki lo gak lurus di grand pose lo, sebagus apapun kita, itu yang akan orang-orang inget, Dan! Lurusin lagi.”
Dengan mata terbelalak takut karena baru saja digertak anak SMP, Ardan mengulang arabesque-nya, berjinjit sambil mengangkat satu kaki ke belakang setinggi mungkin.
“Astaga, Ardan! Ih, nih.” Luno berdiri di depan Ardan, mengambil bahunya, lalu mereka berdua menengok melihat pintu kaca kelas terbuka. Bara datang.
Bara adalah masa kecil dalam botol. Meski baru saja menunjukkan suksesnya di SMA dengan mendapatkan IPA murni, ia masih suka menonton pesawat yang melintas, bermain dengan kucing, atau menonton ulat bulu berjalan. Bara senang bisa membantu orang lain, selalu bergegas menjadi orang pertama menolong siapapun yang membutuhkan. Begitu orang menyebutnya unyu, ia akan tertawa. Bara tidak merasa unyu. Bara tidak unyu. Bara senang bicara dan tersenyum. Hatinya hangat, seperti bara.
Bara sangat peka dalam membaca ekspresi orang lain. Pasti Luno sedang frustrasi menghadapi Ardan. Ardan butuh waktu yang sedikit lama untuk menyerap ilmu baru, tapi sekali dapat, ilmu itu akan menempel selamanya.
“Lagi ngapain, Lun, Dan?” tanya Bara dan hatinya yang hangat sebagai kakak yang baik sambil meletakkan tasnya di dekat tas-tas Luno dan Ardan.
“Grand pose-nya Ardan, yang itu Bar,” Luno menjawab, seperti menyerahkan masalah terbesar di dunia pada Bara. “Arabesque.
Bara dan hatinya yang hangat tersenyum, lalu ia menghampiri mereka berdua dan bicara pada Ardan dengan bahasa yang mudah dan intonasi yang menyenangkan, mencontohkan apa yang harus dilakukan sambil menjelaskan apa fungsinya dan bagaimana caranya. Dari balik bahu Bara, Luno cuma menonton, menyaksikan betapa sempurnanya Bara sesungguhnya di hal-hal yang dia tidak bisa.
Luno bukan penyabar. Andai Luno karet, mungkin dia karet paling tipis dan paling pendek, lebih tipis dan pendek daripada karet kuncir warna-warni murahan dalam plastik bening. Andai Bara karet, mungkin dia adalah campuran dalam tambang alat-alat binaraga, kuat dan lentur.
Andai Ardan yang karet, mungkin dia adalah penghapus.
Saat latihan, bagian solo mereka bertiga akan muncul berurutan, diawali dengan Ardan. Dengan menggabungkan semua ilmu yang pernah ia dapat, Ardan berhasil melakukan bagiannya dengan sangat baik, membuat Luno bertepuk tangan pelan pada hasil usaha Bara dalam hati.
Saat Bara harus menunjukkan bagiannya ke Kak Tania dan teman-temannya, ia melakukannya dengan begitu hati-hati, hampir terasa bukan Bara. Bagian itu sulit dan melelahkan, hampir sepuluh menit panjangnya. Meski begitu, Bara tetap melakukannya sebagai Bara yang bebas, dan ia melakukannya dengan sempurna. Teman-temannya bersorak-sorai untuk Bara, yang sekarang membungkuk pamit pada audiens kecilnya.
Luno berdiri. Dia membungkuk hormat dan menengok pada Kak Tio sang pianis untuk meminta lagu dimulai. Teman-temannya bertepuk tangan dan sesekali berpura-pura tidak beradab dengan menyerukan namanya. Luno menjaga konsentrasi dan ekspresinya, mencoba tetap tenang.
Sebetulnya tidak ada orang yang begitu lamban atau ringkih di kelas ini—toh pada akhirnya ini kelas senior, semua orang pasti ada di kelas ini karena satu alasan—tapi keberadaan Luno seperti matahari di bumi yang tidak pernah berputar.
Luno suka pujian. Semua macam pujian, kecuali yang tidak ditujukan padanya. Luno begitu senang saat teman-temannya harus menyaksikannya menari, selalu sejejak lebih tegas, sedetak lebih anggun, lalu ia akan menunduk tanda selesai dan menyembunyikan bangganya sambil meringkuk di ujung ruangan menonton teman-teman yang lain.
Dari semua pujian yang Luno tidak suka, ia paling tidak suka pujian untuk Bara.

***

Sekarang, Luno. Sekarang.

Luno diajarkan untuk tidak pernah ragu dalam melangkah, baik secara kias maupun harfiah. Langkahnya mantap, kakinya selalu terjahit satu dengan tanah. Anggukannya saat menjawab selalu yakin, kata-katanya mengalir tanpa jeda seperti langkah-langkah panjangnya di lantai kayu. Hari ini ia harus kembali membuktikan kepada teman-temannya bahwa ia memang pantas menjadi pemeran utama.
Luno mendorong pintu kaca Studio Ardella, memasuki Kelas Senior dan menutup pintunya kembali. Sabtu ini, dia bukan orang yang datang paling pagi. Sudah ada Dian sang Sugar Plum Fairy yang sedang mengikat tali sepatunya separuh jalan betis, dan dua perempuan lain. Luno menyapa mereka dengan senyum dan pindah ke ruang loker sejenak untuk berganti pakaian.

Kelas dimulai. Hari ini Nurul dan Luno akan mencoba lagi gerakan pertama yang diajarkan Kak Tania khusus untuk mereka berdua Rabu lalu, adegan saat Nutcracker bangun setelah sekarat dari pertempuran melawan Raja Tikus.
Setelah melakukan pemanasan dan mengulang beberapa teknik dasar, review dan penambahan koreografi dimulai. Kak Tania hari ini duduk menonton bersama yang lain. Seluruh latihan diiringi Kak Tio, pianis di Ardella yang begitu banyak orang benci karena tidak bisa apa-apa selain membaca skors dan memberi perintah tanpa basis saat Kak Tania tidak ada.
Luno dan Nurul bersiap di posisi mereka; Luno tertelungkup lemah dan Nurul berdiri di pojok panggung. Musik dimulai. Koreografi diawali dengan Clara yang sedih karena mengira Nutcracker sudah mati. Lalu, Nutcracker bangun dan menyambut Clara, berterima kasih dengan semua gerakannya.
Mereka menari berdua di atas panggung yang kosong. Judul adegan ini Hutan Pinus di Musim Dingin.
Luno mengangkat Nurul mengelilingi area yang dibatasi sebagai panggung, menurunkan Nurul, lalu mengambil langkah panjang sebelum berputar. Ada banyak hal yang berkelebat di pikiran Luno the Nutcracker. Di saat-saat seperti ini, pikirannya selalu berisik. Sebaliknya, di panggung, pikirannya pendiam, fokusnya tajam. Luno sedang memikirkan gerakan berikutnya, memikirkan menghafal gerakan untuk satu setengah jam lagi, memikirkan betapa Kak Tio memainkan lagu tanpa perasaan dan bahkan tanpa hitungan yang benar, memikirkan betapa kerennya Dian nanti saat gilirannya tiba, dan memikirkan—
Ttak!
Luno berteriak refleks dan langsung meringkuk lemah memegangi betisnya, badannya seakan-akan leleh ke lantai. Perhatian Luno terlalu terpaku pada ngilu di kakinya, terlalu pusing dan bingung untuk sadar bahwa ia sudah dikerubungi teman-temannya dan kedua gurunya. Kepala Luno terasa sangat ringan dan satu-satunya hal di pikirannya adalah ia akan melakukan apa saja untuk keluar dari keadaan ini. Satu tangan Luno mengepal. Cengkramannya begitu kencang menahan sakit dan di bawah tangannya, kakinya mulai pucat dan biru.

***

Kesempurnaan selalu ada di balik sebuah etalase tak tertembus, seberapapun sulit orang-orang mencoba meraihnya.
Luno tidak percaya saat cahaya lampu sorot di atas panggung tidak menghujaninya. Kak Tania sudah mengganti pemeran Paman Drosselmeyer dengan salah seorang anak dari kelas lanjutan dan sekarang, ia duduk di kursi beludru merah menyaksikan orang lain menjadi dirinya.
Dan dari semua orang yang bisa menggantikan dia, orang itu harus Bara.
Bara terlihat luar biasa gagah dan pantas dalam seragam serdadu merah itu, membuat Luno begitu tercekat dengan beragam perasaan. Nurul memakai kostum yang menyerupai gaun tidur. Pakaiannya sederhana, tapi dia terlihat sangat cantik. Dan Luno harus melihat lagi bahwa Bara… dia harus akui dari bawah sini, memainkan perannya dengan luar biasa.
Saat dibutuhkan, fokus Bara luar biasa. Setelah mengangkat Clara, melangkah panjang, dan berputar dua kali, Nutcracker Bara tidak melakukan kesalahan yang Nutcracker Luno lakukan. Pijakannya sempurna, lebih pasti daripada apapun yang pernah Luno lihat sebelumnya, bahkan lebih pasti dari diri Luno sendiri.
Langit-langit kamar Luno terlihat hitam kebiruan oleh warna malam dari jendela. Butuh beberapa kali kerjap sebelum Luno sadar bahwa dia sekarang bangun dan pentas barusan adalah mimpi. Mimpi yang menyeramkan. Saat Luno bergeser sedikit dan baru saja berencana duduk, betis kanannya menegang dan ngilu. Dia ingat.
Luno menggerakkan badannya perlahan-lahan untuk duduk, dan dengan cahaya seadanya dari jendela yang ditutupi gorden, ia meraba kakinya yang dibalut kain dengan kencang.
Luno membuang napas. Sebegitu takutnyakah dia akan digantikan Bara sampai Bara menyusup ke dalam mimpinya dengan cara seperti itu?

Setelah beristirahat dan mencoba membayangkan hidup tanpa menari selama beberapa hari, akhirnya Luno memutuskan untuk pergi ke sekolah—dan ke Ardella sekalian karena hari ini hari Rabu. Di selang waktu yang ia pakai untuk beristirahat itu, Luno sering mengunci diri di ruang latihannya untuk diam-diam membuka perban dan melihat seberapa parah kakinya sebetulnya. Luno juga sering mencoba memaksakan memakai sepatu pointe di kaki itu, meski mengikat sepatu pointe di kaki itu saja sudah membuatnya mengerang menahan tangis.
Di Senin pagi saat ia sendirian di ruang latihan rumahnya, Luno perlahan berdiri dan berjalan, sebisa mungkin tidak tertatih-tatih menuju barre di dinding cermin. Luno pertama menatap matanya sendiri, lalu melihat kedua kakinya yang berada dalam posisi satu: terbentang lurus ke arah yang berlawanan. Dengan hati-hati Luno mengangkat kaki kanannya dan mencoba meluruskan kakinya melakukan pointe.
Separuh jalan, Luno membuka mulut tapi menahan teriaknya. Tangan Luno mencengkram barre kencang-kencang lalu ia menumpukan berat badan di siku pada barre itu, menyembunyikan muka dan meremas rambut. Kalau dia tidak bisa sembuh total atau kalau ini akan memakan waktu lama, dia tidak tahu masih bisa melakukan apa lagi yang lebih berguna selain main FIFA dan sungguh, dia tidak menginginkan itu. Demi Tuhan, Luno betul-betul ingin menangis. Pointe yang biasa dia lakukan tanpa berpikir sekarang harus memakan begitu banyak tenaga.
Luno menarik napas dalam. Kalau dia tidak sembuh lebih cepat, Bara bisa-bisa akan betul-betul menggantikannya di pentas yang dia sudah idamkan dari lama. Luno memutuskan bahwa dia bisa memilih antara mengikuti saran dokter dan orangtuanya untuk diam sampai cukup sembuh atau memaksakan kakinya berfungsi kembali agar tidak harus mengikhlaskan peran The Nutcracker untuk Bara.

Luno membuka pintu Studio Ardella dengan tas disampir di bahu kanannya, wajah yang datar, dan langkah yang sebisa mungkin normal. Dia sudah terlambat sepuluh menit karena berjalan butuh waktu dua kali lebih lama dari biasanya, dan sekarang ia membuka pintu kelas.
Orang-orang menengok untuk melihat siapa yang masuk dan sangat, sangat kaget melihat bahwa itu Luno. Semua orang, terutama yang perempuan, menyatakan ketidaksetujuan mereka dengan keberadaan Luno di sini, membuat kuur kecil memohon Luno pulang dan beristirahat.
Orang-orang menatap Luno dengan mata yang iba atau heran. Mereka betul-betul ingin bertanya mengapa Luno masih datang ke sini dengan keadaan sakit, tapi tidak ada yang membuka mulut. Risih ditatap dengan mata-mata yang menekan, Luno menunduk, meletakkan tasnya bersama tas-tas lain dan keluar untuk ganti baju. Orang-orang di dalam saling berbisik tidak percaya Luno masih mau-maunya latihan.
“Hei, hei! Fokus.” Kak Tania menepuk-nepuk tangannya meminta perhatian. “Ulangi lagi.” 
Kak Tania berjalan ke ujung ruangan menunggu Luno datang. Piano berdenting, adegan dimulai lagi. Clara baru saja mendapat hadiah dari Paman Drosselmeyer. Pandangan Kak Tania terus beralih antara anak-anak dan pintu.
Pintu terbuka. Kak Tania menengok dan segera menghampiri Luno. “Kamu beneran mau latihan, Lun?”
Kaget dipanggil, Luno mengangkat pandangannya. “Iya, Kak.”
Kak Tania membuang napas. “Kakimu parah, Luno. Istirahat.”
“Saya masih belum bisa bagian yang kemarin, Kak.”
“Jelas aja kamu gak bisa, Luno. Kamu pincang!” Kak Tania berteriak, menyita perhatian seisi kelas membuat kelas sunyi.
Pandangan Luno tidak berubah. “Saya bisa, Kak. Nih,” Luno mengambil selangkah maju dan berjinjit satu kaki di atas kaki kanannya yang diperban, menatap mata Kak Tania sambil menggigit pipi. Luno senang wajahnya bisa tetap datar, meski kaki itu sesungguhnya bergetar dengan jelas. Teman-temannya yang menyaksikan meringis ngilu.
Luno menurunkan badannya. Kak Tania membuang napas, bingung harus bicara apa.
Ruangan diam, lalu waktu seakan dijalankan lagi dengan bunyi piano Kak Tio. Nurul dan Bara mengulang adegan mereka.
“Kalo saya gak ada,” Luno memulai. Kak Tania menengok. “Yang jadi Nutcracker-nya siapa, Kak?”
Kak Tania membuang napas dan asal menyisir rambutnya dengan sebelah tangan tanda capek. Luno memindahkan pandangannya ke Nurul dan Bara. “Ya kita tunggu kamu sembuh, Luno. Makanya istirahat, biar bisa cepet latihan lagi.”
Luno mencoba menelan tawa sinis. Ia harus mengistirahatkan kakinya selama setidaknya tiga minggu sebelum kakinya bisa melakukan kegiatan ringan. Kak Tania terdengar tidak masuk akal.
Di sisi lain ruangan, Bara menurunkan Nurul dari bahunya dan mendarat dengan sempurna mengakhiri tarian itu. Luno terbelalak kagum, meskipun wajahnya hampir tidak berubah. Dia pasti bisa, pasti bisa menjadi Nutcracker andai Luno tidak ada.

***

Mungkin Kak Tania ada benarnya. Sore ini Luno bersandar di pintu ruang latihan rumahnya dengan kaki diluruskan. Ia menekan-nekan kakinya yang terkilir dan membandingkannya dengan kaki kirinya yang sehat. Parah juga sih. Mungkin kalau Luno mengurut-urut kakinya, kakinya akan lebih cepat membaik.
Luno berteriak. Dia tidak tahu apa ini pilihan yang tepat, tapi dia tetap mengurut-urut kakinya dan menelan rasa sakit itu, setidaknya agar dia bisa lebih kuat. Dia ingin kembali ke studio dengan sesuatu yang layak ditunjukkan.
Saat Luno merasa bahwa menggerak-gerakkan kakinya sudah lebih mudah, ia berdiri. Luno berjalan ke barre dan melakukan pemanasannya perlahan-lahan. Lama-lama Luno menikmati pilu yang muncul saat harus memakai kaki kanannya, menggerakkannya dengan lebih beringas dibanding hati-hati. Di tiap putaran, tiap pointe, tiap pose yang ia buat, ia merasa terpenuhi. Masih bergerak, Luno memejamkan mata dan tersenyum.
Hutan Pinus di Musim Dingin memang bukan adegan yang paling rumit atau paling besar dari pentas ini, tapi Luno selalu mengulangnya di rumah sepulang sekolah sampai orangtuanya pulang. Luno bersembunyi dari begitu banyak orang untuk berlatih dengan perban masih terpasang: ia buru-buru keluar dari ruang latihan dan pura-pura tidur atau main PES di kamar segera setelah mendengar klakson mobil orangtuanya. Ia sudah dua minggu tidak datang ke studio, sekedar prasyarat agar ia tidak diusir lagi. Luno harus menjadi Nutcracker. Harus tetap menjadi Nutcracker. Kalau dia beristirahat, bisa-bisa dia memakan waktu terlalu lama. Kalau dia beristirahat terlalu lama, bisa-bisa dia digantikan. Bisa-bisa dia memerankan tokoh lain. Bisa-bisa tokohnya diperankan orang lain.
Bukannya Luno takut. Luno tidak takut. Luno hanya tetap harus berada di bawah sorotan. Luno tidak khawatir. Dia pasti, pasti akan menjadi pemeran utama. Tapi dia tidak bisa cuma diam di rumah seperti ini.
Luno senang dengan hasil latihan sendirinya di rumah. Meski masih ada rasa sakit, setidaknya Luno tidak terlalu merasakannya lagi. Kaki kanannya justru terasa lebih luwes setelah dibiasakan begitu.
Luno kembali ke Studio Ardella dua Sabtu kemudian dengan hati yang tinggi dan bangga. Ia menarik napas saat membuka pintu dan bisa mendengar dentingan piano dari arah kelasnya. Luno memutuskan untuk ganti baju dulu, baru pergi ke kelas. Dengan tas disampir di bahu kanan dan asal celana kaos dari lemari untuk memuat kakinya yang berbalut perban, Luno mengetuk pintu kaca kelasnya dan masuk sambil berkata, “Permisi.”
Seisi kelas menengok ke arah pintu dan tersenyum. Mereka berseru, “Luno!”, menyambutnya. Luno tersenyum dan menutup pintu.
Bara dan hatinya yang selalu hangat menghampiri Luno dengan senyum dan bertanya, “Udah sembuh, Lun?”
Luno menengok dan tersentak sejenak, tapi langsung tersenyum dan mengangguk. Ia berjalan dan mengambil tempat di ujung kerumunan. Teman-temannya sedang menonton Dian sang Sugar Plum Fairy melakukan pas de deux-nya dengan Ardan, Pangeran Orgeat. Luno duduk dan penasaran ingin melihat salah satu bagian favorit dari pentas favoritnya.
Ardan dan Dian memiliki perangai dan gaya yang serupa, hanya saja Ardan laki-laki dan Dian perempuan. Mereka sama-sama senang tertawa, sama-sama ringkih dan tidak terlihat seperti penari, tapi mereka menyerap pelajaran dengan begitu cepat. Kalaupun ada orang yang bakal bisa membalap Nurul dan Luno dalam waktu yang singkat, mereka berdualah orangnya.
Orang-orang bertepuk tangan saat bagian mereka berdua selesai, lalu mereka segera meminta Luno maju. Beberapa anak meminta yang lain diam, tapi hanya bisa meredakan keramaian sejenak. Luno menggeleng malu. Toh sebetulnya ia tidak ingin melakukan apa-apa dulu hari ini. Teman-temannya menuntut.
“Ssh, jangan, jangan! Kasihan Luno baru sembuh,” kata Bara.
“Um, gapapa kok, Bar.” Luno tersenyum dan perlahan berdiri. “Ayo.” Luno maju dan orang-orang bersorak, senang teman mereka kembali. Luno mengulurkan tangan pada Clara-nya, memintanya berdiri. Mereka berdua menempati posisi masing-masing.
Kak Tio memainkan lagu Hutan Pinus di Musim Dingin. Pertunjukan dimulai. Di antara para penonton yang duduk di lantai kayu, ada yang duduk memeluk kaki, ada yang duduk dengan tangan menopang di belakang punggung, dan ada Kak Tania berdiri melipat tangan di belakang mereka semua. Dia tidak mengharapkan adegan ini untuk sempurna melihat keadaan Luno.
Nutcracker bangun dari tidurnya dan melihat Clara bersedih. Nutcracker menghampiri Clara dan memintanya untuk tidak bersedih, lalu ia menari untuk menunjukkan rasa terima kasih pada Clara. Dari tempatnya duduk, Kak Tania bisa melihat gemetar kaki dan mata Luno. Ini—ini betul-betul tidak sehat. Kak Tania melambaikan tangan untuk mengambil perhatian Kak Tio, mengisyaratkannya untuk menghentikan lagu. Kak Tio terlihat bingung sebentar, tapi ia segera mengikuti perintah. Semua orang bingung saat musik berhenti.
Kak Tania datang tepat waktu—satu hitungan lagi, Luno harus mengangkat Nurul mengitari daerah yang mereka jadikan panggung. Kak Tania berjalan mengitari murid-muridnya dan menghampiri kedua penampil di depan. Luno dan Nurul berhenti melakukan apapun yang mereka tadi lakukan dan berdiri tegak.
“Di rumah, kamu istirahat kan, Luno?”
Mata Luno melebar, tapi ia mengangguk.
“Kamu udah pernah buka perban kamu?”
Luno membuka mulutnya perlahan. “Um, sekali doang, Kak.”
“Boleh kamu buka perban kamu?” Kak Tania bertanya. Luno melihat kakinya. Sepertinya tidak akan menjadi masalah, toh dia baru saja membuktikan bahwa dia sudah bisa menari lagi. Luno mengangguk setuju dan menunduk dengan niat meraih perbannya, tapi Kak Tania lebih cepat. Kak Tania mencari ujung perban Luno dan mulai melepasnya, mengikuti alurnya perlahan-lahan.
Orang-orang menarik napas kaget begitu perban itu terlepas sempurna dari betis Luno. Beberapa orang segera menutup mata, beberapa memalingkan muka, beberapa lagi langsung berbalik badan. “Kamu gak bercanda kan, Lun?”
Luno melihat kakinya sendiri dan untuk pertama kalinya merasa begitu menutup mata. Kakinya penuh lebam mengerikan dari lutut ke bawah, daerah di sekitar mata kakinya paling ramai. Penuh hitam dan biru di semua tempat. Hampir tidak berbentuk. “Kamu ngapain aja di rumah, Luno?” tanya Kak Tania, nadanya tinggi karena prihatin.
Penyesalan membuat Luno merasa tenggorokannya begitu tercekat. Luno diam.
“Luno.” Kak Tania menuntut jawaban.
“Saya mau cepet-cepet latihan lagi, Kak.”
Kak Tania membuang napas. “Bukan begini caranya, Luno.” Dia tidak menyangka bahwa menghadapi anak paling pintar yang pernah ia temui akan jauh lebih melelahkan daripada menghadapi anak yang paling bodoh. “Kalo kaki kamu kaya gini, kamu malah makin gak bisa nari.”
“Tapi saya udah bisa nari, Kak. Kakak lihat sendiri kan tadi—“
“Kamu mau bisa nari hari ini atau bisa nari sampai tua, Luno?! Kaki kamu rusak, kamu mau pakai kursi roda?!”
Ruangan sunyi. Luno memalingkan muka karena menunduk berarti menatap langsung mata Kak Tania. Kak Tania membuang napas lelah. Tidak ada orang yang mau membuka mulut. Luno diam.
“Kalo gitu, nanti pentasnya gimana, Kak?”
Luno membuka kesunyian. Kak Tania mendongak dan berdiri untuk menyetarakan pandangan dengan Luno.
Nanti siapa yang jadi Nutcracker-nya?

***

Luno menatap serdadu berbaju merah di kaca dengan tidak percaya. Ia betulkan sedikit lagi rambutnya, rapikan sedikit lagi kerahnya. Dua puluh menit lagi pertunjukan dimulai. Luno menengok ke pintu keluar belakang panggung dan menarik napas.
“Lo pasti bisa kok,” kata Luno pada Nutcracker di kaca dengan senyum yang bangga. “Ini The Nutcracker.”
“Thanks,” kata Nutcracker, membalas dengan senyuman yang selalu hangat.
“Gue ke tempat duduk gue ya, Bar,” Luno tersenyum dan melambaikan tangan pada Bara, The Nutcracker, sebelum berlari-lari kecil keluar backstage dan ke area penonton. Satu kursi beludru merah sudah menjadi miliknya.
Kak Tania sudah mengganti pemeran Paman Drosselmeyer, tokoh awal Bara, dengan salah seorang anak dari kelas lanjutan dan sekarang, Luno duduk di kursi beludru merah menyaksikan orang lain menjadi dirinya.
Saat Paman Drosselmeyer membuat Clara dan dirinya sendiri mengecil, Luno sama terpesonanya dengan dulu saat usianya tujuh tahun. The Nutcracker memimpin barisan untuk melawan Pasukan Raja Tikus, menampakkan diri untuk pertama kalinya.
 Bara terlihat luar biasa gagah dan pantas dalam seragam serdadu merah itu, membuat Luno begitu tercekat dengan beragam perasaan. Nurul memakai kostum yang menyerupai gaun tidur. Pakaiannya sederhana, tapi dia terlihat sangat cantik. Dan Luno harus melihat lagi bahwa Bara… dia harus akui dari bawah sini, memainkan perannya dengan luar biasa.
Luno tersenyum dengan besar hati dan menggerak-gerakkan kaki kanannya yang tidak akan bisa sekuat dulu.


“Kalau dalam bernyanyi, ada yang namanya timbre, Luno, yang membedakan bunyi biola dan gitar di nada yang sama, atau suaramu dan suaraku di nada dan oktaf yang sama.” Dian tersenyum melihat Luno begitu keras. Perban Luno segar, baru diganti persis Jumat kemarin. Luno hanya berkunjung untuk menonton teman-temannya karena rindu. Lantai kayu di bawah mereka dingin oleh AC. “Tapi, tidak seperti instrumen, manusia punya identitas, karena Tuhan senang membubuhkan tanda tangan di tiap hasil karyaNya. Kamu sudah tahu ke arah mana bicaraku?” Luno tetap diam, matanya keras memaku lantai. “Kamu tetap kamu, Luno. Aku bukan Ardan, kamu bukan Bara, dan Bara juga bukan kamu. Kita semua berbeda, jadi akan agak salah kalau kamu memaksakan skalamu di semua orang. Bara sama hebatnya denganmu, Luno. Hanya saja, kamu menyilaukan. Maka hari ini, Tuhan memutuskan untuk memutar bumi yang kamu sinari, agar mereka yang selalu melihat siang bisa melihat bintang, dan mereka yang hanya merasakan rundungan malam bisa merasakan hangatnya matahari. Kamu tetap bisa bersinar, Luno. Menjadi bulan yang paling terang.”


TAMAT








*Orelio adalah nama belakang Luno, karena bulan berwarna emas di malam dia lahir.

No comments:

Post a Comment