Rating: C for Cute
Language: Indonesian
Genre: …not so sure…
Word count: 4,778 words
Pantulan
wajah Luno di kaca sudah seperti lukisan di dinding. Wajah Luno selalu ada, selalu
terpantul di dinding-dinding cermin studio. Datang paling cepat, pulang paling
belakang. Sudah berkali-kali Luno mempertimbangkan mencuri dan menduplikat
seluruh bundel kunci Studio Ardella biar dia bisa menyelinap dari sisiran
satpam dan petugas kebersihan yang begitu ingin pulang.
Sore
ini Luno masuk ke salah satu kelas, kelasnya di Studio Ardella, masih memakai
seragam SMA. Dia berlutut dan membuka tas di atas lantai kayu yang lapang,
mengambil legging dan kausnya sebelum ganti baju. Studio masih kosong—bahkan
dia orang yang menyalakan lampu.
Luno
keluar ruangan dan menutup pintu sebelum masuk ke ruang loker dan menukar
celana abu-abunya dengan legging hitam di salah satu bilik ganti. Begitu
kembali ke kelas, sudah ada Bara dan Dian. Luno menyapa mereka dan menyimpan
seragam sekolah kembali ke tasnya sebelum memegangi barre sambil mengawasi gerakan kakinya di kaca.
“Pemanasan
dulu kali.” Sapa Bara yang mengambil tempat tepat di sisi Luno. Luno menengok
dan tertawa sedikit, melihat Bara tertawa ringan. Bara sudah hafal mati apa
saja yang akan dilakukan Luno di barre untuk pemanasan. Ia berjalan
meninggalkan Luno dan barre di dinding dan duduk meraih-raih jempol kakinya
hanya untuk pembuktian. Di ujung lain ruangan, ada Dian yang menekuk-nekukkan
kedua lututnya, mengulang-ulang plie sendirian,
mengawasi postur badannya dengan hati-hati di kaca. Satu demi satu teman mereka
yang lain masuk, diikuti guru mereka, Kak Tania, tanda kelas akan segera
dimulai.
Kak
Tania datang memeluk setumpuk kertas fotokopian, membuat orang-orang berbisik
penasaran. Skors lagu baru? Atau naskah pentas besar yang dari bulan lalu
dikasak-kusukkan itu?
Kak
Tania duduk di lantai menunggu murid-muridnya ikut duduk membentuk lingkaran.
Ada empat belas siswa di Kelas Senior Studio Ardella, semuanya hadir sore ini.
“Hari ini kita reading,” Kak Tania
mengumumkan, menepuk-nepukkan dasar tumpukan kertas itu ke lantai untuk
merapikannya. Kak Tania menggeser tumpukan itu kepada Bara, orang yang
kebetulan duduk tepat di samping kirinya. “Ini naskah buat kalian pentas
Desember tahun depan.”
Pecah
bisik riuh rendah, semua orang semangat menerka-nerka dengan teman di
sebelahnya sambil operan terus berjalan ke sebelah kiri.
Separuh
lingkaran, tumpukan itu tiba di hadapan Luno. Ia mengambil naskahnya dan mengoper
tumpukan ke kiri.
Luno
melihat halaman judul naskah itu. The
Nutcracker. Pertunjukan yang membuatnya begitu terpesona sampai
merengek-rengek mau belajar balet saat umurnya belum genap delapan. Hari ini di
usianya yang hampir tujuh belas, Luno sedikitpun tidak menyesal. Rasanya
tangannya bergetar dingin dan kagum memegang naskah itu, tapi saat ia melihat
ke bawah, tangannya tegas dan diam.
“Pertunjukan
ini hampir satu setengah jam, masing-masing bagian empat puluh lima menit.
Nanti saya jelaskan adegan-adegannya; kan kalo naskah aja susah bayanginnya.”
Semua
orang mengangguk-angguk sambil membolak-balik naskah, ingin tahu apa isinya.
“Kak,
ini belum ada pemain-pemainnya?” tanya Nurul, salah satu murid terbaik bersama
dengan Luno.
“Belum.”
Kak Tania menjawab Nurul. “Minggu ini dan minggu depan kita baca naskah dan
tentuin tokoh.”
Nurul
mengangguk-angguk dan membalik satu halaman naskahnya, ceritanya kembali
membaca.
“Kamu
mau jadi Clara, Nur?”
Nurul
menarik pandangannya dari kertas ke Kak Tania. Dia tahu cerita ini. Clara adalah
nama anak perempuan di cerita The
Nutcracker yang mendapatkan The Nutcracker sebagai hadiah natal, tokoh
utama cerita tersebut. Tampil sepanjang pertunjukan: separuh di dunia nyata,
separuh di alam mimpi.
Nurul
bimbang. Tentu saja dia mau, tapi dia tahu betapa beratnya menghafal cerita dan
koreografi, apalagi untuk satu setengah jam.
Seluruh
lingkaran mulai berbisik pada Nurul membujuknya untuk setuju, beberapa bahkan
langsung bertepuk memberi dukungan.
Nurul
melirik ke seluruh lingkaran, mencari sedikit rasa yakin dari berpasang-pasang
mata teman-temannya. Ia menarik napas ragu.
“Iya,
Kak.”
Seluruh
lingkaran bersorak sorai. Kalau begini ceritanya, pentas ini tentu akan sukses
besar. Kak Tania segera menawarkan daftar tokoh dan pemain di kepalanya begitu
keramaian reda. Ada adik Clara, ada paman Clara yang memberikan sang boneka
serdadu timah, dan penari-penari utama di Negeri Mimpi. Dian, juga salah satu
yang terbaik di kelas senior, mendapat peran Sugar Plum Fairy, peri yang
menjaga Negeri Mimpi selama The Nutcracker menjadi boneka di dunia nyata. Tokoh
itu tokoh yang sangat penting dan simbolik di bagian kedua The Nutcracker.
Tinggal
tersisa nama Bara dan Luno, calon pemeran The Nutcracker dan Paman Drosselmeyer,
juga dua orang terbaik di kelas terbaik. Semua orang bersorak, kubu pendukung
keduanya sama besar. Yang disoraki hanya tertawa.
Luno
terus ikut-ikutan tertawa sampai keributan reda. Dia tahu menjadi pemeran utama
lebih mendekati sebuah kepastian daripada sebuah kemungkinan. Sama seperti
orang lain, hati kecilnya justru akan heran jika bukan ia orangnya. Luno tidak
mungkin menjadi peran pendukung—andai ini Peter
Pan, jangankan menjadi The Lost Boys, peran sebesar Kapten Hook saja sudah
salah baginya.
“Oke,
Drosselmeyer-nya Bara, Nutcracker-nya Luno,” Kak Tania mengumumkan. Seisi kelas
bersorak-sorai sampai salah satu dari mereka berdesis. “Selesai reading, saya mau langsung kasih
beberapa bagian yang sudah ada garis besarnya.”
***
Sabtu ini.
Luno menarik napas dan menumpu badan di satu lutut.
Luno
memasang pointe shoe hitam di ruang
kaca rumahnya yang berlampu temaram. Empat tahun yang lalu saat ia masih kelas
delapan, ayahnya setuju untuk memaku cermin dan barre menutupi dua dinding salah satu kamar tamu. Di rumahnya, ada
dua kamar tamu yang tidak pernah diisi, karena tidak pernah ada yang bermalam
dan jarang sekali ada orang bertamu. Salah satu kamar itu menjadi ruang
latihannya sekarang, lengkap dengan cermin melapisi penuh dua dinding dan lampu
yang diganti jingga biar sedikit melankolis.
Luno
berdiri setelah sepatunya terpasang dengan kencang, lalu ia berjalan dengan
langkah panjang menuju dinding kaca di depannya, melakukan rangkaian
pemanasannya biasa. Luno menatap matanya sendiri. Hitam, dipahat sejengkal
lebih dalam dengan nada kemerahan dari lampu di atas. Bukan mata yang tertajam,
tapi cukup jeli dan jujur untuk menyampaikan maksud tanpa bicara.
Luno
melepas tangannya dari barre dan melakukan beberapa kali pirouette dan pique
mengitari ruangan sebelum kembali ke tempatnya di barre tadi. Luno tidak suka
berjinjit meski ia bisa. Berjinjit membuatnya terlihat lemah. Ia senang
orang-orang di Studio Ardella memahami hubungan negatif itu; meskipun
diajarkan, para murid laki-laki tidak akan melakukan pointe hampir dalam gerakan apapun. Luno senang bisa menjadi orang yang
lebih kuat dengan disiplin yang ia dapat.
Luno
mundur dan menari lagi, ingin melompat sangat besar mengambil grand jete andai ruangan itu cukup besar.
Berpura-pura menjadi serdadu berbaju merah yang ia inginkan, The Nutcracker,
sampai ia merasa satu dengan serdadu berbaju merah itu. Luno terus bergerak
sampai ia cukup lelah. Sambil berputar, ia ingat bahwa Nutcracker tampil
luarbiasa sepanjang pentas yang ia tonton dulu, dan setelah mengerti ballet, ia
sekarang tahu bahwa gerakan-gerakan itu susah. Luno terus bergerak dibatasi
tembok-tembok ruangan, lalu memutuskan untuk berputar kembali menuju barre.
Kalau
di kelas ia datang paling pagi dan orang yang menyusul adalah Bara, ia akan
melakukan pemanasan sambil ditonton Bara dari kaca, lalu Bara akan tertawa dan
berkata bahwa Luno harus mengendurkan ikatan. Tenang. Hidup lebih pelan, atau
nanti dia akan terlihat sepuluh tahun lebih tua dari Bara. Luno tidak pernah
bisa mengerti konsep-konsep dari Bara karena berjalan lebih pelan sangat
merugikan baginya—untuk apa menjaring dengan lambat dan mendapat dua ikan kalau
bisa menjaring dengan cepat dan mendapat sepuluh ikan. Luno melakukan satu pirouette lagi sambil memikirkan
bagaimana Bara selalu bisa melakukannya dengan tepat dan tanpa khawatir lalu
tertawa lagi saat duduk kembali seakan-akan ia tidak akan mati menghadapi kuis
dari dosen fisikanya atau besok pagi.
Luno
berhenti. Melihat dirinya sendiri terengah-engah, ia tertawa, kecil saja.
Meskipun tidak suka, ia paling puas berada dalam keadaan ini: terengah-engah
sampai napasnya terasa dingin di langit-langit mulut, jantung berdetak terlalu
kencang sampai mengetuk-ngetuk rusuk. Luno menyeringai menertawakan dirinya
sendiri, pada pangeran berbaju merah dalam dirinya. Hidungnya kecil, tidak
seperti hidung sang Serdadu Timah seharusnya. Bukan hidung kecil boneka, tapi
bukan juga hidung pesek yang jelek, tapi tetap saja bukan hidung yang mancung.
Ia
menarik napas dan mundur lagi ke tengah ruangan untuk melakukan hitungan demi
hitungan yang diajarkan Kak Tania Rabu kemarin, sebuah pas de deux—tarian untuk berdua—sesekali diam atau berpura-pura
menyambut gerakan Nurul yang memerankan Clara. Ruangan sunyi, hanya ada bunyi
tepuk sepatu pointe Luno dengan lantai. Dia menari sambil memutar lagu ini di
kepalanya. Ruangan ini dingin menyengat, pendingin udaranya terlalu lama
dinyalakan. Luno ingin menjadi Nutcracker yang hebat dan diingat.
***
“Bukan,
Ardan, bukan!” Luno berteriak dengan frustrasi. Hari itu, setelah janjian untuk
tiba lebih pagi di Studio Ardella, Luno mencoba membetulkan posisi temannya,
Ardan, dalam melakukan grand pose
yang akan menutup perannya di pentas bulan depan. Tinggal dua puluh menit lagi waktu
Luno sebelum yang lain mulai berdatangan dan Ardan harus memamerkan hasil
latihannya. Hari itu tiga tahun yang lalu Luno masih kelas sembilan, dan
temannya, Ardan, baru masuk SMA.
Ardan
bisa melihat bahwa dia sudah membuat Luno lebih dari jengah hanya untuk
hitungan terakhir ini. Ardan yang berawak ringkih terlihat makin kecil di
hadapan Luno yang seram. “Yaudah, Lun, nanti bisa diurus—”
“Apa
yang mau diurus?” selak Luno, membuatnya tersentak. “Kalo kaki lo gak lurus di grand pose lo, sebagus apapun kita, itu
yang akan orang-orang inget, Dan! Lurusin lagi.”
Dengan
mata terbelalak takut karena baru saja digertak anak SMP, Ardan mengulang arabesque-nya, berjinjit sambil
mengangkat satu kaki ke belakang setinggi mungkin.
“Astaga,
Ardan! Ih, nih.” Luno berdiri di depan Ardan, mengambil bahunya, lalu mereka
berdua menengok melihat pintu kaca kelas terbuka. Bara datang.
Bara
adalah masa kecil dalam botol. Meski baru saja menunjukkan suksesnya di SMA
dengan mendapatkan IPA murni, ia masih suka menonton pesawat yang melintas,
bermain dengan kucing, atau menonton ulat bulu berjalan. Bara senang bisa
membantu orang lain, selalu bergegas menjadi orang pertama menolong siapapun
yang membutuhkan. Begitu orang menyebutnya unyu,
ia akan tertawa. Bara tidak merasa unyu. Bara tidak unyu. Bara senang bicara
dan tersenyum. Hatinya hangat, seperti bara.
Bara
sangat peka dalam membaca ekspresi orang lain. Pasti Luno sedang frustrasi
menghadapi Ardan. Ardan butuh waktu yang sedikit lama untuk menyerap ilmu baru,
tapi sekali dapat, ilmu itu akan menempel selamanya.
“Lagi
ngapain, Lun, Dan?” tanya Bara dan hatinya yang hangat sebagai kakak yang baik sambil
meletakkan tasnya di dekat tas-tas Luno dan Ardan.
“Grand
pose-nya Ardan, yang itu Bar,” Luno menjawab, seperti menyerahkan masalah
terbesar di dunia pada Bara. “Arabesque.”
Bara
dan hatinya yang hangat tersenyum, lalu ia menghampiri mereka berdua dan bicara
pada Ardan dengan bahasa yang mudah dan intonasi yang menyenangkan, mencontohkan
apa yang harus dilakukan sambil menjelaskan apa fungsinya dan bagaimana
caranya. Dari balik bahu Bara, Luno cuma menonton, menyaksikan betapa
sempurnanya Bara sesungguhnya di hal-hal yang dia tidak bisa.
Luno
bukan penyabar. Andai Luno karet, mungkin dia karet paling tipis dan paling
pendek, lebih tipis dan pendek daripada karet kuncir warna-warni murahan dalam
plastik bening. Andai Bara karet, mungkin dia adalah campuran dalam tambang
alat-alat binaraga, kuat dan lentur.
Andai
Ardan yang karet, mungkin dia adalah penghapus.
Saat
latihan, bagian solo mereka bertiga akan muncul berurutan, diawali dengan
Ardan. Dengan menggabungkan semua ilmu yang pernah ia dapat, Ardan berhasil
melakukan bagiannya dengan sangat baik, membuat Luno bertepuk tangan pelan pada
hasil usaha Bara dalam hati.
Saat
Bara harus menunjukkan bagiannya ke Kak Tania dan teman-temannya, ia
melakukannya dengan begitu hati-hati, hampir terasa bukan Bara. Bagian itu
sulit dan melelahkan, hampir sepuluh menit panjangnya. Meski begitu, Bara tetap
melakukannya sebagai Bara yang bebas, dan ia melakukannya dengan sempurna.
Teman-temannya bersorak-sorai untuk Bara, yang sekarang membungkuk pamit pada
audiens kecilnya.
Luno
berdiri. Dia membungkuk hormat dan menengok pada Kak Tio sang pianis untuk meminta
lagu dimulai. Teman-temannya bertepuk tangan dan sesekali berpura-pura tidak
beradab dengan menyerukan namanya. Luno menjaga konsentrasi dan ekspresinya,
mencoba tetap tenang.
Sebetulnya
tidak ada orang yang begitu lamban atau ringkih di kelas ini—toh pada akhirnya
ini kelas senior, semua orang pasti ada di kelas ini karena satu alasan—tapi
keberadaan Luno seperti matahari di bumi yang tidak pernah berputar.
Luno
suka pujian. Semua macam pujian, kecuali yang tidak ditujukan padanya. Luno
begitu senang saat teman-temannya harus menyaksikannya menari, selalu sejejak
lebih tegas, sedetak lebih anggun, lalu ia akan menunduk tanda selesai dan
menyembunyikan bangganya sambil meringkuk di ujung ruangan menonton teman-teman
yang lain.
Dari
semua pujian yang Luno tidak suka, ia paling tidak suka pujian untuk Bara.
***
Sekarang, Luno. Sekarang.
Luno
diajarkan untuk tidak pernah ragu dalam melangkah, baik secara kias maupun
harfiah. Langkahnya mantap, kakinya selalu terjahit satu dengan tanah. Anggukannya
saat menjawab selalu yakin, kata-katanya mengalir tanpa jeda seperti
langkah-langkah panjangnya di lantai kayu. Hari ini ia harus kembali
membuktikan kepada teman-temannya bahwa ia memang pantas menjadi pemeran utama.
Luno
mendorong pintu kaca Studio Ardella, memasuki Kelas Senior dan menutup pintunya
kembali. Sabtu ini, dia bukan orang yang datang paling pagi. Sudah ada Dian
sang Sugar Plum Fairy yang sedang mengikat tali sepatunya separuh jalan betis,
dan dua perempuan lain. Luno menyapa mereka dengan senyum dan pindah ke ruang
loker sejenak untuk berganti pakaian.
Kelas
dimulai. Hari ini Nurul dan Luno akan mencoba lagi gerakan pertama yang
diajarkan Kak Tania khusus untuk mereka berdua Rabu lalu, adegan saat
Nutcracker bangun setelah sekarat dari pertempuran melawan Raja Tikus.
Setelah
melakukan pemanasan dan mengulang beberapa teknik dasar, review dan penambahan koreografi dimulai. Kak Tania hari ini duduk
menonton bersama yang lain. Seluruh latihan diiringi Kak Tio, pianis di Ardella
yang begitu banyak orang benci karena tidak bisa apa-apa selain membaca skors
dan memberi perintah tanpa basis saat Kak Tania tidak ada.
Luno
dan Nurul bersiap di posisi mereka; Luno tertelungkup lemah dan Nurul berdiri
di pojok panggung. Musik dimulai. Koreografi diawali dengan Clara yang sedih
karena mengira Nutcracker sudah mati. Lalu, Nutcracker bangun dan menyambut
Clara, berterima kasih dengan semua gerakannya.
Mereka
menari berdua di atas panggung yang kosong. Judul adegan ini Hutan Pinus di Musim Dingin.
Luno
mengangkat Nurul mengelilingi area yang dibatasi sebagai panggung, menurunkan
Nurul, lalu mengambil langkah panjang sebelum berputar. Ada banyak hal yang
berkelebat di pikiran Luno the Nutcracker. Di saat-saat seperti ini, pikirannya
selalu berisik. Sebaliknya, di panggung, pikirannya pendiam, fokusnya tajam.
Luno sedang memikirkan gerakan berikutnya, memikirkan menghafal gerakan untuk
satu setengah jam lagi, memikirkan betapa Kak Tio memainkan lagu tanpa perasaan
dan bahkan tanpa hitungan yang benar, memikirkan betapa kerennya Dian nanti
saat gilirannya tiba, dan memikirkan—
Ttak!
Luno
berteriak refleks dan langsung meringkuk lemah memegangi betisnya, badannya
seakan-akan leleh ke lantai. Perhatian Luno terlalu terpaku pada ngilu di
kakinya, terlalu pusing dan bingung untuk sadar bahwa ia sudah dikerubungi
teman-temannya dan kedua gurunya. Kepala Luno terasa sangat ringan dan
satu-satunya hal di pikirannya adalah ia akan melakukan apa saja untuk keluar
dari keadaan ini. Satu tangan Luno mengepal. Cengkramannya begitu kencang menahan
sakit dan di bawah tangannya, kakinya mulai pucat dan biru.
***
Kesempurnaan
selalu ada di balik sebuah etalase tak tertembus, seberapapun sulit orang-orang
mencoba meraihnya.
Luno
tidak percaya saat cahaya lampu sorot di atas panggung tidak menghujaninya. Kak
Tania sudah mengganti pemeran Paman Drosselmeyer dengan salah seorang anak dari
kelas lanjutan dan sekarang, ia duduk di kursi beludru merah menyaksikan orang
lain menjadi dirinya.
Dan
dari semua orang yang bisa menggantikan dia, orang itu harus Bara.
Bara
terlihat luar biasa gagah dan pantas dalam seragam serdadu merah itu, membuat
Luno begitu tercekat dengan beragam perasaan. Nurul memakai kostum yang
menyerupai gaun tidur. Pakaiannya sederhana, tapi dia terlihat sangat cantik.
Dan Luno harus melihat lagi bahwa Bara… dia harus akui dari bawah sini,
memainkan perannya dengan luar biasa.
Saat
dibutuhkan, fokus Bara luar biasa. Setelah mengangkat Clara, melangkah panjang,
dan berputar dua kali, Nutcracker Bara tidak melakukan kesalahan yang
Nutcracker Luno lakukan. Pijakannya sempurna, lebih pasti daripada apapun yang
pernah Luno lihat sebelumnya, bahkan lebih pasti dari diri Luno sendiri.
Langit-langit
kamar Luno terlihat hitam kebiruan oleh warna malam dari jendela. Butuh
beberapa kali kerjap sebelum Luno sadar bahwa dia sekarang bangun dan pentas
barusan adalah mimpi. Mimpi yang menyeramkan. Saat Luno bergeser sedikit dan
baru saja berencana duduk, betis kanannya menegang dan ngilu. Dia ingat.
Luno
menggerakkan badannya perlahan-lahan untuk duduk, dan dengan cahaya seadanya
dari jendela yang ditutupi gorden, ia meraba kakinya yang dibalut kain dengan
kencang.
Luno
membuang napas. Sebegitu takutnyakah dia akan digantikan Bara sampai Bara
menyusup ke dalam mimpinya dengan cara seperti itu?
Setelah
beristirahat dan mencoba membayangkan hidup tanpa menari selama beberapa hari,
akhirnya Luno memutuskan untuk pergi ke sekolah—dan ke Ardella sekalian karena
hari ini hari Rabu. Di selang waktu yang ia pakai untuk beristirahat itu, Luno
sering mengunci diri di ruang latihannya untuk diam-diam membuka perban dan
melihat seberapa parah kakinya sebetulnya. Luno juga sering mencoba memaksakan
memakai sepatu pointe di kaki itu, meski mengikat sepatu pointe di kaki itu
saja sudah membuatnya mengerang menahan tangis.
Di
Senin pagi saat ia sendirian di ruang latihan rumahnya, Luno perlahan berdiri
dan berjalan, sebisa mungkin tidak tertatih-tatih menuju barre di dinding
cermin. Luno pertama menatap matanya sendiri, lalu melihat kedua kakinya yang
berada dalam posisi satu: terbentang lurus ke arah yang berlawanan. Dengan
hati-hati Luno mengangkat kaki kanannya dan mencoba meluruskan kakinya
melakukan pointe.
Separuh
jalan, Luno membuka mulut tapi menahan teriaknya. Tangan Luno mencengkram barre
kencang-kencang lalu ia menumpukan berat badan di siku pada barre itu,
menyembunyikan muka dan meremas rambut. Kalau dia tidak bisa sembuh total atau
kalau ini akan memakan waktu lama, dia tidak tahu masih bisa melakukan apa lagi
yang lebih berguna selain main FIFA dan sungguh, dia tidak menginginkan itu.
Demi Tuhan, Luno betul-betul ingin menangis. Pointe yang biasa dia lakukan tanpa berpikir sekarang harus memakan
begitu banyak tenaga.
Luno
menarik napas dalam. Kalau dia tidak sembuh lebih cepat, Bara bisa-bisa akan
betul-betul menggantikannya di pentas yang dia sudah idamkan dari lama. Luno
memutuskan bahwa dia bisa memilih antara mengikuti saran dokter dan orangtuanya
untuk diam sampai cukup sembuh atau memaksakan kakinya berfungsi kembali agar
tidak harus mengikhlaskan peran The Nutcracker untuk Bara.
Luno
membuka pintu Studio Ardella dengan tas disampir di bahu kanannya, wajah yang
datar, dan langkah yang sebisa mungkin normal. Dia sudah terlambat sepuluh
menit karena berjalan butuh waktu dua kali lebih lama dari biasanya, dan
sekarang ia membuka pintu kelas.
Orang-orang
menengok untuk melihat siapa yang masuk dan sangat, sangat kaget melihat bahwa
itu Luno. Semua orang, terutama yang perempuan, menyatakan ketidaksetujuan
mereka dengan keberadaan Luno di sini, membuat kuur kecil memohon Luno pulang
dan beristirahat.
Orang-orang
menatap Luno dengan mata yang iba atau heran. Mereka betul-betul ingin bertanya
mengapa Luno masih datang ke sini dengan keadaan sakit, tapi tidak ada yang
membuka mulut. Risih ditatap dengan mata-mata yang menekan, Luno menunduk,
meletakkan tasnya bersama tas-tas lain dan keluar untuk ganti baju. Orang-orang
di dalam saling berbisik tidak percaya Luno masih mau-maunya latihan.
“Hei,
hei! Fokus.” Kak Tania menepuk-nepuk tangannya meminta perhatian. “Ulangi
lagi.”
Kak
Tania berjalan ke ujung ruangan menunggu Luno datang. Piano berdenting, adegan
dimulai lagi. Clara baru saja mendapat hadiah dari Paman Drosselmeyer.
Pandangan Kak Tania terus beralih antara anak-anak dan pintu.
Pintu
terbuka. Kak Tania menengok dan segera menghampiri Luno. “Kamu beneran mau
latihan, Lun?”
Kaget
dipanggil, Luno mengangkat pandangannya. “Iya, Kak.”
Kak
Tania membuang napas. “Kakimu parah, Luno. Istirahat.”
“Saya
masih belum bisa bagian yang kemarin, Kak.”
“Jelas
aja kamu gak bisa, Luno. Kamu pincang!” Kak Tania berteriak, menyita perhatian
seisi kelas membuat kelas sunyi.
Pandangan
Luno tidak berubah. “Saya bisa, Kak. Nih,” Luno mengambil selangkah maju dan berjinjit
satu kaki di atas kaki kanannya yang diperban, menatap mata Kak Tania sambil
menggigit pipi. Luno senang wajahnya bisa tetap datar, meski kaki itu
sesungguhnya bergetar dengan jelas. Teman-temannya yang menyaksikan meringis
ngilu.
Luno
menurunkan badannya. Kak Tania membuang napas, bingung harus bicara apa.
Ruangan
diam, lalu waktu seakan dijalankan lagi dengan bunyi piano Kak Tio. Nurul dan
Bara mengulang adegan mereka.
“Kalo
saya gak ada,” Luno memulai. Kak Tania menengok. “Yang jadi Nutcracker-nya
siapa, Kak?”
Kak
Tania membuang napas dan asal menyisir rambutnya dengan sebelah tangan tanda
capek. Luno memindahkan pandangannya ke Nurul dan Bara. “Ya kita tunggu kamu
sembuh, Luno. Makanya istirahat, biar bisa cepet latihan lagi.”
Luno
mencoba menelan tawa sinis. Ia harus mengistirahatkan kakinya selama setidaknya
tiga minggu sebelum kakinya bisa melakukan kegiatan ringan. Kak Tania terdengar tidak masuk akal.
Di
sisi lain ruangan, Bara menurunkan Nurul dari bahunya dan mendarat dengan
sempurna mengakhiri tarian itu. Luno terbelalak kagum, meskipun wajahnya hampir
tidak berubah. Dia pasti bisa, pasti bisa
menjadi Nutcracker andai Luno tidak ada.
***
Mungkin
Kak Tania ada benarnya. Sore ini Luno bersandar di pintu ruang latihan rumahnya
dengan kaki diluruskan. Ia menekan-nekan kakinya yang terkilir dan
membandingkannya dengan kaki kirinya yang sehat. Parah juga sih. Mungkin kalau Luno mengurut-urut kakinya, kakinya
akan lebih cepat membaik.
Luno
berteriak. Dia tidak tahu apa ini pilihan yang tepat, tapi dia tetap
mengurut-urut kakinya dan menelan rasa sakit itu, setidaknya agar dia bisa
lebih kuat. Dia ingin kembali ke studio dengan sesuatu yang layak ditunjukkan.
Saat
Luno merasa bahwa menggerak-gerakkan kakinya sudah lebih mudah, ia berdiri.
Luno berjalan ke barre dan melakukan pemanasannya perlahan-lahan. Lama-lama
Luno menikmati pilu yang muncul saat harus memakai kaki kanannya,
menggerakkannya dengan lebih beringas dibanding hati-hati. Di tiap putaran,
tiap pointe, tiap pose yang ia buat, ia merasa terpenuhi. Masih bergerak, Luno
memejamkan mata dan tersenyum.
Hutan Pinus di Musim Dingin memang
bukan adegan yang paling rumit atau paling besar dari pentas ini, tapi Luno
selalu mengulangnya di rumah sepulang sekolah sampai orangtuanya pulang. Luno
bersembunyi dari begitu banyak orang untuk berlatih dengan perban masih
terpasang: ia buru-buru keluar dari ruang latihan dan pura-pura tidur atau main
PES di kamar segera setelah mendengar klakson mobil orangtuanya. Ia sudah dua
minggu tidak datang ke studio, sekedar prasyarat agar ia tidak diusir lagi.
Luno harus menjadi Nutcracker. Harus tetap menjadi Nutcracker. Kalau dia
beristirahat, bisa-bisa dia memakan waktu terlalu lama. Kalau dia beristirahat
terlalu lama, bisa-bisa dia digantikan. Bisa-bisa dia memerankan tokoh lain.
Bisa-bisa tokohnya diperankan orang lain.
Bukannya
Luno takut. Luno tidak takut. Luno hanya tetap harus berada di bawah sorotan.
Luno tidak khawatir. Dia pasti, pasti akan
menjadi pemeran utama. Tapi dia tidak bisa cuma diam di rumah seperti ini.
Luno
senang dengan hasil latihan sendirinya di rumah. Meski masih ada rasa sakit,
setidaknya Luno tidak terlalu merasakannya lagi. Kaki kanannya justru terasa
lebih luwes setelah dibiasakan begitu.
Luno
kembali ke Studio Ardella dua Sabtu kemudian dengan hati yang tinggi dan
bangga. Ia menarik napas saat membuka pintu dan bisa mendengar dentingan piano
dari arah kelasnya. Luno memutuskan untuk ganti baju dulu, baru pergi ke kelas.
Dengan tas disampir di bahu kanan dan asal celana kaos dari lemari untuk memuat
kakinya yang berbalut perban, Luno mengetuk pintu kaca kelasnya dan masuk sambil
berkata, “Permisi.”
Seisi
kelas menengok ke arah pintu dan tersenyum. Mereka berseru, “Luno!”,
menyambutnya. Luno tersenyum dan menutup pintu.
Bara
dan hatinya yang selalu hangat menghampiri Luno dengan senyum dan bertanya,
“Udah sembuh, Lun?”
Luno
menengok dan tersentak sejenak, tapi langsung tersenyum dan mengangguk. Ia
berjalan dan mengambil tempat di ujung kerumunan. Teman-temannya sedang
menonton Dian sang Sugar Plum Fairy melakukan pas de deux-nya dengan Ardan, Pangeran Orgeat. Luno duduk dan penasaran
ingin melihat salah satu bagian favorit dari pentas favoritnya.
Ardan
dan Dian memiliki perangai dan gaya yang serupa, hanya saja Ardan laki-laki dan
Dian perempuan. Mereka sama-sama senang tertawa, sama-sama ringkih dan tidak
terlihat seperti penari, tapi mereka menyerap pelajaran dengan begitu cepat.
Kalaupun ada orang yang bakal bisa membalap Nurul dan Luno dalam waktu yang
singkat, mereka berdualah orangnya.
Orang-orang
bertepuk tangan saat bagian mereka berdua selesai, lalu mereka segera meminta Luno
maju. Beberapa anak meminta yang lain diam, tapi hanya bisa meredakan keramaian
sejenak. Luno menggeleng malu. Toh sebetulnya ia tidak ingin melakukan apa-apa
dulu hari ini. Teman-temannya menuntut.
“Ssh,
jangan, jangan! Kasihan Luno baru sembuh,” kata Bara.
“Um,
gapapa kok, Bar.” Luno tersenyum dan perlahan berdiri. “Ayo.” Luno maju dan
orang-orang bersorak, senang teman mereka kembali. Luno mengulurkan tangan pada
Clara-nya, memintanya berdiri. Mereka berdua menempati posisi masing-masing.
Kak
Tio memainkan lagu Hutan Pinus di Musim
Dingin. Pertunjukan dimulai. Di antara para penonton yang duduk di lantai
kayu, ada yang duduk memeluk kaki, ada yang duduk dengan tangan menopang di
belakang punggung, dan ada Kak Tania berdiri melipat tangan di belakang mereka
semua. Dia tidak mengharapkan adegan ini untuk sempurna melihat keadaan Luno.
Nutcracker
bangun dari tidurnya dan melihat Clara bersedih. Nutcracker menghampiri Clara
dan memintanya untuk tidak bersedih, lalu ia menari untuk menunjukkan rasa
terima kasih pada Clara. Dari tempatnya duduk, Kak Tania bisa melihat gemetar
kaki dan mata Luno. Ini—ini betul-betul tidak sehat. Kak Tania melambaikan
tangan untuk mengambil perhatian Kak Tio, mengisyaratkannya untuk menghentikan
lagu. Kak Tio terlihat bingung sebentar, tapi ia segera mengikuti perintah.
Semua orang bingung saat musik berhenti.
Kak
Tania datang tepat waktu—satu hitungan lagi, Luno harus mengangkat Nurul
mengitari daerah yang mereka jadikan panggung. Kak Tania berjalan mengitari
murid-muridnya dan menghampiri kedua penampil di depan. Luno dan Nurul berhenti
melakukan apapun yang mereka tadi lakukan dan berdiri tegak.
“Di
rumah, kamu istirahat kan, Luno?”
Mata
Luno melebar, tapi ia mengangguk.
“Kamu
udah pernah buka perban kamu?”
Luno
membuka mulutnya perlahan. “Um, sekali doang, Kak.”
“Boleh
kamu buka perban kamu?” Kak Tania bertanya. Luno melihat kakinya. Sepertinya
tidak akan menjadi masalah, toh dia baru saja membuktikan bahwa dia sudah bisa
menari lagi. Luno mengangguk setuju dan menunduk dengan niat meraih perbannya,
tapi Kak Tania lebih cepat. Kak Tania mencari ujung perban Luno dan mulai
melepasnya, mengikuti alurnya perlahan-lahan.
Orang-orang
menarik napas kaget begitu perban itu terlepas sempurna dari betis Luno.
Beberapa orang segera menutup mata, beberapa memalingkan muka, beberapa lagi
langsung berbalik badan. “Kamu gak bercanda kan, Lun?”
Luno
melihat kakinya sendiri dan untuk pertama kalinya merasa begitu menutup mata.
Kakinya penuh lebam mengerikan dari lutut ke bawah, daerah di sekitar mata
kakinya paling ramai. Penuh hitam dan biru di semua tempat. Hampir tidak
berbentuk. “Kamu ngapain aja di rumah, Luno?” tanya Kak Tania, nadanya tinggi
karena prihatin.
Penyesalan
membuat Luno merasa tenggorokannya begitu tercekat. Luno diam.
“Luno.”
Kak Tania menuntut jawaban.
“Saya
mau cepet-cepet latihan lagi, Kak.”
Kak
Tania membuang napas. “Bukan begini caranya, Luno.” Dia tidak menyangka bahwa
menghadapi anak paling pintar yang pernah ia temui akan jauh lebih melelahkan
daripada menghadapi anak yang paling bodoh. “Kalo kaki kamu kaya gini, kamu
malah makin gak bisa nari.”
“Tapi
saya udah bisa nari, Kak. Kakak lihat sendiri kan tadi—“
“Kamu
mau bisa nari hari ini atau bisa nari sampai tua, Luno?! Kaki kamu rusak, kamu
mau pakai kursi roda?!”
Ruangan
sunyi. Luno memalingkan muka karena menunduk berarti menatap langsung mata Kak
Tania. Kak Tania membuang napas lelah. Tidak ada orang yang mau membuka mulut.
Luno diam.
“Kalo
gitu, nanti pentasnya gimana, Kak?”
Luno
membuka kesunyian. Kak Tania mendongak dan berdiri untuk menyetarakan pandangan
dengan Luno.
“Nanti siapa yang jadi Nutcracker-nya?”
***
Luno
menatap serdadu berbaju merah di kaca dengan tidak percaya. Ia betulkan sedikit
lagi rambutnya, rapikan sedikit lagi kerahnya. Dua puluh menit lagi pertunjukan
dimulai. Luno menengok ke pintu keluar belakang panggung dan menarik napas.
“Lo
pasti bisa kok,” kata Luno pada Nutcracker di kaca dengan senyum yang bangga.
“Ini The Nutcracker.”
“Thanks,”
kata Nutcracker, membalas dengan senyuman yang selalu hangat.
“Gue
ke tempat duduk gue ya, Bar,” Luno tersenyum dan melambaikan tangan pada Bara,
The Nutcracker, sebelum berlari-lari kecil keluar backstage dan ke area penonton. Satu kursi beludru merah sudah
menjadi miliknya.
Kak
Tania sudah mengganti pemeran Paman Drosselmeyer, tokoh awal Bara, dengan salah
seorang anak dari kelas lanjutan dan sekarang, Luno duduk di kursi beludru
merah menyaksikan orang lain menjadi dirinya.
Saat
Paman Drosselmeyer membuat Clara dan dirinya sendiri mengecil, Luno sama
terpesonanya dengan dulu saat usianya tujuh tahun. The Nutcracker memimpin
barisan untuk melawan Pasukan Raja Tikus, menampakkan diri untuk pertama
kalinya.
Bara terlihat luar biasa gagah dan pantas
dalam seragam serdadu merah itu, membuat Luno begitu tercekat dengan beragam
perasaan. Nurul memakai kostum yang menyerupai gaun tidur. Pakaiannya
sederhana, tapi dia terlihat sangat cantik. Dan Luno harus melihat lagi bahwa
Bara… dia harus akui dari bawah sini, memainkan perannya dengan luar biasa.
Luno
tersenyum dengan besar hati dan menggerak-gerakkan kaki kanannya yang tidak
akan bisa sekuat dulu.
“Kalau dalam bernyanyi, ada yang
namanya timbre, Luno, yang
membedakan bunyi biola dan gitar di nada yang sama, atau suaramu dan suaraku di
nada dan oktaf yang sama.” Dian tersenyum melihat Luno begitu keras. Perban
Luno segar, baru diganti persis Jumat kemarin. Luno hanya berkunjung untuk
menonton teman-temannya karena rindu. Lantai kayu di bawah mereka dingin oleh
AC. “Tapi, tidak seperti instrumen, manusia punya identitas, karena Tuhan
senang membubuhkan tanda tangan di tiap hasil karyaNya. Kamu sudah tahu ke arah
mana bicaraku?” Luno tetap diam, matanya keras memaku lantai. “Kamu tetap kamu,
Luno. Aku bukan Ardan, kamu bukan Bara, dan Bara juga bukan kamu. Kita semua
berbeda, jadi akan agak salah kalau kamu memaksakan skalamu di semua orang.
Bara sama hebatnya denganmu, Luno. Hanya saja, kamu menyilaukan. Maka hari ini,
Tuhan memutuskan untuk memutar bumi yang kamu sinari, agar mereka yang selalu
melihat siang bisa melihat bintang, dan mereka yang hanya merasakan rundungan
malam bisa merasakan hangatnya matahari. Kamu tetap bisa bersinar, Luno.
Menjadi bulan yang paling terang.”
TAMAT
*Orelio adalah nama belakang Luno, karena bulan berwarna emas di
malam dia lahir.
No comments:
Post a Comment