Friday, April 24, 2015

bakar

Orang yang munafiq, fasiq, dan ingkar janji berhak masuk sedalam-dalamnya neraka.

Itu aku.

Hari ini, aku mau nulis dengan sejelas-jelasnya dan sebisa mungkin menghindari bahasa kriptik/kode. 

Semoga pengalaman aku bisa menjadi pelajaran buat kamu.

Jadi, bulan Maret 2014 lalu, aku punya ide kecil. Aku mau bikin rohis pertama di sekolah aku. Saat itu, aku dekat dengan Pusat KeanekaRagaman Budaya di sekolah aku. Aku bingung mau cari siapa sebagai Pembina. Akhirnya aku minta tolong sama guru di PRB yang aku tidak terlalu kenal, mau gak jadi Pembina aku? Dia Pembina yang baik. Kita pun mulai. Aku bikin poster dan nempel poster sama temen aku dan berhasil ngumpulin banyak orang. Aku pikir, mungkin ini akan berhasil. Aku seneng. Mungkin kami bisa mendaftarkan diri di pusgiwa pusat, di bem sekolah. Cari ketua di antara kita. Aku bilang ke temenku yang paling berpengalaman, kamu mau gak jadi ketua atau penasihat?

Tentu saja dia tidak mau dan keluar.

Terus, sejak saat itu sampe hari ini, semua orang keluar-masuk.

Dengan dikelilingi klub-klub berbasis budaya, bukan agama, yang jauh lebih tua dan lebih sukses, aku takut. Dengan orang segelintir dan segakniat ini, tentu saja aku gak bisa menyaingi mereka. Dengan ditinggal temen-temenku, aku mencoba mengadakan rapat tiap minggu, bingung mau ngomong apa dengan otak yang kering dan jiwa yang keriput beku.

Sejak saat itu aku jadi benci sekali sama diriku sendiri. Aku merasa munafik karena aku tidak cukup baik perilakunya, tapi malah sok jadi ketua rohis. Aku ingkar janji sama beragam temanku karena aku gak percaya sama diriku sendiri, sedangkan mereka mau mendengarkan aku. Aku takut. Semua yang aku pikir dan lakukan terasa salah. Rasanya mundur dan nonton begitu menyenangkan. Rasanya takut bagai selimut. Aku takut.

Dulu, pas SMA, aku ditunjuk jadi bagian pendidikan di ekskul aku. Aku ngebet setengah mampus jadi ketua, tapi gak kepilih. Saat itu, usia ekskul kami tiga tahun, dan kakak-kakak kelas kami begitu sibuk meraih piala sampai tidak sempat mewariskan ilmunya pada kami.
Itu kata pembinaku yang dulu, biar aku semangat.

Akhirnya, aku nangis di kamar mandi, persis kaya tadi sebelum aku pulang, karena aku takut adek-adek kelasku akan jadi culun dan gak bisa apa-apa.

Nggak, tuh. Aku keluar dari kamar mandi dan ngajarin mereka. Adek-adek kelasku dan adek-adek kelas mereka jadi jauh lebih jago daripada angkatan kami. Sampe saat ini, kalo aku lagi down, aku selalu mengingatkan aku tentang itu.

Dulu sama sekarang gak jauh beda kok. Kami sama-sama gak disukai guru, kami sama-sama sok tau, kami sama-sama gak punya anggota yang setia, tapi kenapa dulu aku berani, dan sekarang aku takut?

Apa karena aku merasa munafik?

Apa karena aku merasa salah dan beda sendiri di lantai Pusat Budaya Siswa?

Apa karena aku merasa diliatin terus sama pembinaku yang sama gak niatnya sama aku?

Setahun lebih aku malu. Setahun lebih orang-orang bilang, “You’re doing okay, Don. You’re doing a good job.”

Ndasmu.

Aku gak ngerti caranya. Anggotaku semuanya lebih pintar daripada aku. Dulu kebalikannya. Dulu aku motornya. Sekarang aku asepnya.

Udah ah.

Semoga barusan cukup jelas.

Ya Allah, kalo aku emang masuk neraka, masukin aja. Aku berhak kok.









No comments:

Post a Comment