Orang yang munafiq, fasiq, dan ingkar janji berhak masuk
sedalam-dalamnya neraka.
Itu aku.
Hari ini, aku mau nulis dengan sejelas-jelasnya dan sebisa
mungkin menghindari bahasa kriptik/kode.
Semoga pengalaman aku bisa menjadi
pelajaran buat kamu.
Jadi, bulan Maret 2014 lalu, aku punya ide kecil. Aku mau
bikin rohis pertama di sekolah aku. Saat itu, aku dekat dengan Pusat KeanekaRagaman Budaya di sekolah aku.
Aku bingung mau cari siapa sebagai Pembina. Akhirnya aku minta tolong sama guru
di PRB yang aku tidak terlalu kenal, mau gak jadi Pembina aku? Dia Pembina yang
baik. Kita pun mulai. Aku bikin poster dan nempel poster sama temen aku dan
berhasil ngumpulin banyak orang. Aku pikir, mungkin ini akan berhasil. Aku
seneng. Mungkin kami
bisa mendaftarkan diri di
pusgiwa pusat, di bem sekolah. Cari ketua di antara kita. Aku bilang ke temenku
yang paling berpengalaman, kamu mau gak jadi ketua atau penasihat?
Tentu saja
dia tidak mau dan keluar.
Terus,
sejak saat itu sampe hari ini, semua orang keluar-masuk.
Dengan dikelilingi
klub-klub berbasis budaya, bukan agama, yang jauh lebih tua dan lebih sukses, aku
takut. Dengan orang segelintir dan segakniat ini, tentu saja aku gak bisa
menyaingi mereka. Dengan ditinggal temen-temenku, aku mencoba mengadakan rapat
tiap minggu, bingung mau ngomong apa dengan otak yang kering dan jiwa yang
keriput beku.
Sejak saat
itu aku jadi benci sekali sama diriku sendiri. Aku merasa munafik karena aku
tidak cukup baik perilakunya, tapi malah sok jadi ketua rohis. Aku ingkar janji
sama beragam temanku karena aku gak percaya sama diriku sendiri, sedangkan
mereka mau mendengarkan aku. Aku takut. Semua yang aku pikir dan lakukan terasa
salah. Rasanya mundur dan nonton begitu menyenangkan. Rasanya takut bagai
selimut. Aku takut.
Dulu, pas
SMA, aku ditunjuk jadi bagian pendidikan di ekskul aku. Aku ngebet setengah
mampus jadi ketua, tapi gak kepilih. Saat itu, usia ekskul kami tiga tahun, dan
kakak-kakak kelas kami begitu sibuk meraih piala sampai tidak sempat mewariskan
ilmunya pada kami.
Itu kata
pembinaku yang dulu, biar aku semangat.
Akhirnya,
aku nangis di kamar mandi, persis kaya tadi sebelum aku pulang, karena aku
takut adek-adek kelasku akan jadi culun dan gak bisa apa-apa.
Nggak, tuh.
Aku keluar dari kamar mandi dan ngajarin mereka. Adek-adek kelasku dan
adek-adek kelas mereka jadi jauh lebih jago daripada angkatan kami. Sampe saat
ini, kalo aku lagi down, aku selalu mengingatkan aku tentang itu.
Dulu sama
sekarang gak jauh beda kok. Kami sama-sama gak disukai guru, kami sama-sama sok
tau, kami sama-sama gak punya anggota yang setia, tapi kenapa dulu aku berani,
dan sekarang aku takut?
Apa karena
aku merasa munafik?
Apa karena
aku merasa salah dan beda sendiri di lantai Pusat Budaya Siswa?
Apa karena
aku merasa diliatin terus sama pembinaku yang sama gak niatnya sama aku?
Setahun lebih
aku malu. Setahun lebih orang-orang bilang, “You’re doing okay, Don. You’re
doing a good job.”
Ndasmu.
Aku gak
ngerti caranya. Anggotaku semuanya lebih pintar daripada aku. Dulu kebalikannya.
Dulu aku motornya. Sekarang aku asepnya.
Udah ah.
Semoga barusan
cukup jelas.
Ya Allah,
kalo aku emang masuk neraka, masukin aja. Aku berhak kok.
No comments:
Post a Comment