Mata Andisyah bulat
dan sayu, hijau dan dangkal, macam danau yang jernih airnya. Bahunya bungkuk
seperti tunas melamun, giginya kuning setengah mati dan napasnya bau kopi, tapi
tuturnya jujur dan nyaris lugu, khas anak maba yang masih perfeksionis dan datang
dari keluarga yang taat. Kakinya besar sekali, nyaris dua kali ukuran kakiku.
Dia selalu menggigit kuku. Tutup pulpen. Mulut gelas. Semua dikunyah oleh rasa
cemasnya. Dia begitu ramah dan menyenangkan, serta mampu mengingat
daftar-daftar panjang, sampai aku curiga, apa dia pernah jadi pelayan? Tapi
mungkin dia terlalu sibuk peduli dengan tontonannya untuk sibuk nyambi di
restoran. Aku sih terlalu sibuk berpura-pura sibuk. Terlalu sibuk memperhatikan
tetek bengek perintah-perintah sepele dari Andisyah. Terlalu sibuk
memperhatikan mata hijau biru Andisyah. Hidung mancung Andisyah. Rambut
Andisyah yang senada kopi susu. Jemarinya yang tambun di tubuhnya yang
jangkung. Ya Tuhan, bakar saja mataku yang jelalatan. Untung sebentar lagi aku
hilang dari hidupnya.
No comments:
Post a Comment