Monday, August 3, 2015

Andisyah, 1

Mata Andisyah bulat dan sayu, hijau dan dangkal, macam danau yang jernih airnya. Bahunya bungkuk seperti tunas melamun, giginya kuning setengah mati dan napasnya bau kopi, tapi tuturnya jujur dan nyaris lugu, khas anak maba yang masih perfeksionis dan datang dari keluarga yang taat. Kakinya besar sekali, nyaris dua kali ukuran kakiku. Dia selalu menggigit kuku. Tutup pulpen. Mulut gelas. Semua dikunyah oleh rasa cemasnya. Dia begitu ramah dan menyenangkan, serta mampu mengingat daftar-daftar panjang, sampai aku curiga, apa dia pernah jadi pelayan? Tapi mungkin dia terlalu sibuk peduli dengan tontonannya untuk sibuk nyambi di restoran. Aku sih terlalu sibuk berpura-pura sibuk. Terlalu sibuk memperhatikan tetek bengek perintah-perintah sepele dari Andisyah. Terlalu sibuk memperhatikan mata hijau biru Andisyah. Hidung mancung Andisyah. Rambut Andisyah yang senada kopi susu. Jemarinya yang tambun di tubuhnya yang jangkung. Ya Tuhan, bakar saja mataku yang jelalatan. Untung sebentar lagi aku hilang dari hidupnya. 

No comments:

Post a Comment