“Selamat ya, semuanya! Hebat!” Pak Amir, penanggungjawab kami menyalami kami satu per satu. Aku, dan tiga perwakilan Indonesia lainnya baru saja selesai tampil di Resital Piano Pelajar internasional di Wiener Konzerthaus, Vienna, Austria. Katanya, siap-siap, kami semua akan berangkat ke Berlin via kereta sebentar lagi.
Sesampainya di hotel, aku langsung mandi lalu membereskan koper. Keluar kamar, sudah ada Pak Amir, Dion dan Mayla. Lalu, pintu kamar 2210 terbuka. “Udah, yuk.” Kak Jatayu mengajak, menggeret koper hitamnya.
Kami sampai di stasiun setelah setengah jam naik taksi. Pak Amir menyebutkan booking tiket-nya beberapa hari yang lalu untuk kami dan dirinya sendiri di loket. Ia mengajak kami duduk di salah satu kursi panjang, menatap orang-orang lewat dengan bosan. “Kak Adrian,” panggil Dion. “Coba vending machine yuk, yang itu,” dia menunjuk.
Aku melihat tempat jarinya mengarah dan mengangguk antusias. Kami bergegas ke Pak Amir dan akhirnya beliau memberi selembar receh. Kuambil uang tadi dan kami berdua bingung memilih snack yang mana, semuanya coklat dan besar. Akhirnya kutekan tombol nomor 7. Baru mau mengambil snacknya, speaker stasiun berbunyi, katanya kereta sudah datang.
Aku dan Dion berlari ke koper, Mayla dan kak Jatayu ‘terkesima’ melihat tingkah seminorak kami.
Kereta mulai bergerak setelah sepuluh menit menunggu penumpang. Keluar pusat kota, pepohonan dan pemandangan gunung a la gambar klasik anak SD mulai menyambut. Keren. Banget. Gunung-gunung hitam-biru dengan topi putih, atau kebun-kebun sederhana milik warga desa menyambut kami di setiap kelok.
Dari tadi aku sibuk melihat ke balik jendela, lalu semua terpotong oleh bunyi cantik ini: ‘krrrruyuk’.
Kuabaikan satu kali. Lihat pohon pinus itu, aduhai.
Krrrruuuyyyyuk.
Dua kali. Eh lihat, ada sapi!
Krrruuyyyuuk.
Oke. Aku menyerah. Aku menghampiri Pak Amir. “Ehehe, Pak, boleh minta duit lagi nggak, saya laper…” kataku sambil garuk-garuk kepala dan cengar-cengir.
“Mau jajan apa? Restoran kereta mahal ah, gak usah.”
“Saya laper Pak, aseli… Nanti saya bagi deh.”
Pak Amir menyerah dan memberi selembar dua puluh euro. Aku melihat yang lain: Dion tidur., dan cewek-cewek lagi nggosip. Off to go ke gerbong restoran, kasian si perut.
“Um, excuse me.” Aku berkata, mengambil perhatian pelayan berambut coklat. Ia tersenyum ramah. “Can I have an… um,” aku melihat menu dan terbingung-bingung melihat hurufnya yang berhias titik di atas dan bawah, dan harganya yang cukup konglomerat, terutama untukku yang kolongmelarat.
Wanita itu menawarkan, “Apple Strudel, Sir? Or maybe an almond Malakoff? Both are very good.”
“Apple Strudel, please,” jawabku dengan senyum sopan. Segera ia berbalik, aku menunggu di depan meja. Tidak lama kemudian ia kembali dengan roti mirip croissant berisi pasta apel ditemani krim duduk manis di atas piring keramik putih. Glek.
“Thank you,” aku tersenyum lalu melihat isi gerbong restoran yang penuh dengan beludru merah dan bahan kayu, semuanya bertuliskan reserved, yang tidak dipesan pun sudah diisi orang. Mejaku yang terakhir.
Aku duduk, berdoa dan mulai memotong apfelstrudel pertamaku... dan, uenaaak gak boong!
“Excuse me, is this seat empty? There aren’t any more seats left,” tanya seorang gadis yang (herannya) terlihat seperti orang Indonesia. Aku menengok.
“Well um, sure.” Aku tersenyum ramah. Ia duduk dan mulai menciduk waffle di atas piringnya, baru dibawakan. Suasana canggung, aku tidak suka. “Um, you don’t look like a local, are you a tourist?”
“Well, no. I’m not a local but I live here. My dad works at the embassy,” jawabnya. “And you? You don’t look like a local as well.”
“No, I… I’m representating my country for a piano recital,” jawabku, malu-malu. Kalimat itu terdengar agak terlalu.. yaa.. bikin malu. “Where are you from?”
“Cool! You play the piano? I’m from Indonesia. And you?”
“I’m also from Indonesia, heheh…” jawabku, garuk-garuk kepala lagi. “Eh, kalo gitu, keren dong jadi anak orang dubes. Bisa bahasa Jerman dong?”
“Hehe, gitu deh…” jawabnya, giliran dia nyengir kuda. “Suka strudel?” tanyanya, melihat piringku.
“Ah, gatau, tadi nyoba aja, ditawarin sama mas-masnya. Tapi ternyata enak banget.” Aku antusias memberi pendapat. Suasana canggung lagi, kami sibuk makan.
Tiba-tiba ponsel gadis itu berdering. Ia mengangkat dan berbicara dalam bahasa Jerman dengan nada ramah. Aku memalingkan muka ke jendela.
“Eh, resitalmu itu yang International Students’ Piano Recital itu bukan? Berikutnya di Berlin, kan?” tanyanya, ponselnya diam di meja dalam keadaan tertelungkup. Wafflenya tinggal sedikit, strudelku tinggal yang ada di mulut.
“Iya, kok tau?” aku kaget.
“Papa mau ngasih kaya piagam gitu nanti di KBRI Jerman,” jawabnya, lalu ia menghabiskan waffle. “Keren dong, udah ke luar negeri buat main piano? Kuliah nanti mau ke Vienna?”
Aku mengangguk. “Lo sendiri?”
“Entahlah, yang deket aja.” Ia menengok ke jendela, melihat piring, lalu melihatku. “Eh udah dulu ya, makasih ya udah ngasih tempat duduk.” Gadis itu berdiri. “See you sometime.”
Aku tersenyum saja mengiyakan, lalu ikutan balik ke gerbongku. Begitu kulihat lagi tempat dudukku, semua orang yang aku kenal sudah tertidur pulas.
“Next. Indonesia. Adrian Aludra.” Announcer menyebut tanpa intonasi, disusul tepuk tangan seisi Konzerthaus Berlin. Glek, lagi.
Aku memperkuat kaki dan berjalan naik ke atas panggung. Sepanjang jalanku ke piano, aku betul-betul bisa merasakan kakiku gemetar. Aku duduk. Orang-orang selesai bertepuk tangan, menunggu. Kutarik napas dan aku menekan tuts tanpa berpikir lagi, mengikuti lagu.
Aku berhasil menghabiskan tiga setengah menitku di atas panggung dengan baik, setidaknya menurutku. Tapi aku memakan waktu lebih dari empat menit untuk memberi salam, berjalan keluar-masuk panggung, dan, ehem, menunggu tepuk tangan selesai. ;)
Kami pulang dengan sangat senang dan bangga, membawa oleh-oleh suara tepuk tangan dalam ingatan kami masing-masing.
Esok paginya, kami datang ke KBRI Jerman atas undangan pihak KBRI. Dua bapak-bapak, salah satunya adalah duta besar Indonesia untuk Jerman, memberikan kami masing-masing sebuah piagam. Saat makan setelah berfoto-foto, ternyata aku bertemu gadis di kereta itu lagi saat hendak mengambil sandwich tunakuyang kedua. “Eh, lo lagi,” sapaku dengan senyum.
“Eh, hai!” ia menyapa balik. Dibukanya plastik sandwich dan ia makan segigit, baru ia bertanya padaku, “Semalem lo yang main ‘Janger’ kan? Keren deh.” Dia tersenyum.
Kabelku korslet selama tiga detik.
Baru aku balas senyum lagi. Tepatnya cengir ‘hehehe,’ bukan senyum. Bingung, aku mencoba mengalihkan suasana dengan makan sandwich. “Eh, baru inget, deh. Kita dari kemaren belom kenalan lho. Aku Seroja. Namanya siapa?” Dia tiba-tiba mengulur tangan.
Kabelku korslet selama tiga detik.
Baru aku jawab, kembali dengan nyengir. “Adrian. Nama lo siapa tadi? Seroja?”
Dia mengangguk. Lalu aku bingung mau membuka topik tentang apa.
“Um, pulang kapan?” tanya Seroja.
Aku menjawab faktanya saja. “Besok.”
“Masih besok kan? Jangan lupa keliling-liling dulu,” ia tersenyum.
“Seroja,” sapa Pak Amir pada Seroja, lalu Pak Amir berbisik padaku, “Udahan yuk, yang lain udah pada capek tuh.”
“Belom nyampe siang, Pak?”
“Semalem kamu begadang aja,” Pak Amir berkata remeh. “Liat tuh, matamu tinggal ditiup angin juga udah nutup.” Aku diam. Mumpung aku diam, Pak Amir berkata pada Seroja, “Dek, kami pamit dulu ya. Salam buat semuanya.”
Lalu kami menyalami tiap om-om di KBRI dan anak-anaknya.
Kami berlima mengikuti saran Seroja untuk berkeliling kota sebelum pulang. Tapi dari semua tempat yang kami kunjungi sebelum ke bandara jam 1, yang paling berkesan bagiku adalah Bundestag dan Museumsinsel. Di bandara, ternyata kami akan dilepas oleh keluarga kedubes. Yang kami anak-anak tahu hanya menyalami, tersenyum dan bilang terima kasih, lalu foto. Kami berlima melambai lagi sebelum berpisah, tiba-tiba Seroja menerobos kerumunan kecil itu dengan kertas bertuliskan ‘skype: seroyeah’.
Aku agak kaget melihatnya. Tapi aku lalu tersenyum dan mengangkat jempol kananku, ‘oke’.
Di pesawat, kau tahu lirik apa yang pertama terdengar dari MP3 Playerku?
“I don’t know you, but I want you, all the more for that.”
Oh, iya. Sudah berapa ribu kaki di udara, aku baru ingat. Aku lupa melapor pada Pak Amir; ada yang ketinggalan: hatiku ketinggalan di Berlin. Semoga aku bisa mengambilnya kembali suatu hari nanti.
***
tamat
by donna nadira, to be released in kawula 28 #2 th 2010 as well ^^V
maaf ya kalo jadinya #epicfail dan akhirnya semi-nggantung gitu, gue emang gak sejago itu… maaf juga ya kalo jadinya lama banget. tapi kalo ada yang lebih bagus ya pake yang lebih bagus aja kkk ^^ thank you :>
Sesampainya di hotel, aku langsung mandi lalu membereskan koper. Keluar kamar, sudah ada Pak Amir, Dion dan Mayla. Lalu, pintu kamar 2210 terbuka. “Udah, yuk.” Kak Jatayu mengajak, menggeret koper hitamnya.
Kami sampai di stasiun setelah setengah jam naik taksi. Pak Amir menyebutkan booking tiket-nya beberapa hari yang lalu untuk kami dan dirinya sendiri di loket. Ia mengajak kami duduk di salah satu kursi panjang, menatap orang-orang lewat dengan bosan. “Kak Adrian,” panggil Dion. “Coba vending machine yuk, yang itu,” dia menunjuk.
Aku melihat tempat jarinya mengarah dan mengangguk antusias. Kami bergegas ke Pak Amir dan akhirnya beliau memberi selembar receh. Kuambil uang tadi dan kami berdua bingung memilih snack yang mana, semuanya coklat dan besar. Akhirnya kutekan tombol nomor 7. Baru mau mengambil snacknya, speaker stasiun berbunyi, katanya kereta sudah datang.
Aku dan Dion berlari ke koper, Mayla dan kak Jatayu ‘terkesima’ melihat tingkah seminorak kami.
Kereta mulai bergerak setelah sepuluh menit menunggu penumpang. Keluar pusat kota, pepohonan dan pemandangan gunung a la gambar klasik anak SD mulai menyambut. Keren. Banget. Gunung-gunung hitam-biru dengan topi putih, atau kebun-kebun sederhana milik warga desa menyambut kami di setiap kelok.
Dari tadi aku sibuk melihat ke balik jendela, lalu semua terpotong oleh bunyi cantik ini: ‘krrrruyuk’.
Kuabaikan satu kali. Lihat pohon pinus itu, aduhai.
Krrrruuuyyyyuk.
Dua kali. Eh lihat, ada sapi!
Krrruuyyyuuk.
Oke. Aku menyerah. Aku menghampiri Pak Amir. “Ehehe, Pak, boleh minta duit lagi nggak, saya laper…” kataku sambil garuk-garuk kepala dan cengar-cengir.
“Mau jajan apa? Restoran kereta mahal ah, gak usah.”
“Saya laper Pak, aseli… Nanti saya bagi deh.”
Pak Amir menyerah dan memberi selembar dua puluh euro. Aku melihat yang lain: Dion tidur., dan cewek-cewek lagi nggosip. Off to go ke gerbong restoran, kasian si perut.
“Um, excuse me.” Aku berkata, mengambil perhatian pelayan berambut coklat. Ia tersenyum ramah. “Can I have an… um,” aku melihat menu dan terbingung-bingung melihat hurufnya yang berhias titik di atas dan bawah, dan harganya yang cukup konglomerat, terutama untukku yang kolongmelarat.
Wanita itu menawarkan, “Apple Strudel, Sir? Or maybe an almond Malakoff? Both are very good.”
“Apple Strudel, please,” jawabku dengan senyum sopan. Segera ia berbalik, aku menunggu di depan meja. Tidak lama kemudian ia kembali dengan roti mirip croissant berisi pasta apel ditemani krim duduk manis di atas piring keramik putih. Glek.
“Thank you,” aku tersenyum lalu melihat isi gerbong restoran yang penuh dengan beludru merah dan bahan kayu, semuanya bertuliskan reserved, yang tidak dipesan pun sudah diisi orang. Mejaku yang terakhir.
Aku duduk, berdoa dan mulai memotong apfelstrudel pertamaku... dan, uenaaak gak boong!
“Excuse me, is this seat empty? There aren’t any more seats left,” tanya seorang gadis yang (herannya) terlihat seperti orang Indonesia. Aku menengok.
“Well um, sure.” Aku tersenyum ramah. Ia duduk dan mulai menciduk waffle di atas piringnya, baru dibawakan. Suasana canggung, aku tidak suka. “Um, you don’t look like a local, are you a tourist?”
“Well, no. I’m not a local but I live here. My dad works at the embassy,” jawabnya. “And you? You don’t look like a local as well.”
“No, I… I’m representating my country for a piano recital,” jawabku, malu-malu. Kalimat itu terdengar agak terlalu.. yaa.. bikin malu. “Where are you from?”
“Cool! You play the piano? I’m from Indonesia. And you?”
“I’m also from Indonesia, heheh…” jawabku, garuk-garuk kepala lagi. “Eh, kalo gitu, keren dong jadi anak orang dubes. Bisa bahasa Jerman dong?”
“Hehe, gitu deh…” jawabnya, giliran dia nyengir kuda. “Suka strudel?” tanyanya, melihat piringku.
“Ah, gatau, tadi nyoba aja, ditawarin sama mas-masnya. Tapi ternyata enak banget.” Aku antusias memberi pendapat. Suasana canggung lagi, kami sibuk makan.
Tiba-tiba ponsel gadis itu berdering. Ia mengangkat dan berbicara dalam bahasa Jerman dengan nada ramah. Aku memalingkan muka ke jendela.
“Eh, resitalmu itu yang International Students’ Piano Recital itu bukan? Berikutnya di Berlin, kan?” tanyanya, ponselnya diam di meja dalam keadaan tertelungkup. Wafflenya tinggal sedikit, strudelku tinggal yang ada di mulut.
“Iya, kok tau?” aku kaget.
“Papa mau ngasih kaya piagam gitu nanti di KBRI Jerman,” jawabnya, lalu ia menghabiskan waffle. “Keren dong, udah ke luar negeri buat main piano? Kuliah nanti mau ke Vienna?”
Aku mengangguk. “Lo sendiri?”
“Entahlah, yang deket aja.” Ia menengok ke jendela, melihat piring, lalu melihatku. “Eh udah dulu ya, makasih ya udah ngasih tempat duduk.” Gadis itu berdiri. “See you sometime.”
Aku tersenyum saja mengiyakan, lalu ikutan balik ke gerbongku. Begitu kulihat lagi tempat dudukku, semua orang yang aku kenal sudah tertidur pulas.
***
Announcer sudah menyebut empat orang, semuanya sudah kembali dari panggung. Aku akan tampil setelah ini, mencoba untuk membawakan lagu ‘Janger’ yang aku arrange sendiri untuk piano klasik. Tanganku dingin.“Next. Indonesia. Adrian Aludra.” Announcer menyebut tanpa intonasi, disusul tepuk tangan seisi Konzerthaus Berlin. Glek, lagi.
Aku memperkuat kaki dan berjalan naik ke atas panggung. Sepanjang jalanku ke piano, aku betul-betul bisa merasakan kakiku gemetar. Aku duduk. Orang-orang selesai bertepuk tangan, menunggu. Kutarik napas dan aku menekan tuts tanpa berpikir lagi, mengikuti lagu.
Aku berhasil menghabiskan tiga setengah menitku di atas panggung dengan baik, setidaknya menurutku. Tapi aku memakan waktu lebih dari empat menit untuk memberi salam, berjalan keluar-masuk panggung, dan, ehem, menunggu tepuk tangan selesai. ;)
Kami pulang dengan sangat senang dan bangga, membawa oleh-oleh suara tepuk tangan dalam ingatan kami masing-masing.
Esok paginya, kami datang ke KBRI Jerman atas undangan pihak KBRI. Dua bapak-bapak, salah satunya adalah duta besar Indonesia untuk Jerman, memberikan kami masing-masing sebuah piagam. Saat makan setelah berfoto-foto, ternyata aku bertemu gadis di kereta itu lagi saat hendak mengambil sandwich tunaku
“Eh, hai!” ia menyapa balik. Dibukanya plastik sandwich dan ia makan segigit, baru ia bertanya padaku, “Semalem lo yang main ‘Janger’ kan? Keren deh.” Dia tersenyum.
Kabelku korslet selama tiga detik.
Baru aku balas senyum lagi. Tepatnya cengir ‘hehehe,’ bukan senyum. Bingung, aku mencoba mengalihkan suasana dengan makan sandwich. “Eh, baru inget, deh. Kita dari kemaren belom kenalan lho. Aku Seroja. Namanya siapa?” Dia tiba-tiba mengulur tangan.
Kabelku korslet selama tiga detik.
Baru aku jawab, kembali dengan nyengir. “Adrian. Nama lo siapa tadi? Seroja?”
Dia mengangguk. Lalu aku bingung mau membuka topik tentang apa.
“Um, pulang kapan?” tanya Seroja.
Aku menjawab faktanya saja. “Besok.”
“Masih besok kan? Jangan lupa keliling-liling dulu,” ia tersenyum.
“Seroja,” sapa Pak Amir pada Seroja, lalu Pak Amir berbisik padaku, “Udahan yuk, yang lain udah pada capek tuh.”
“Belom nyampe siang, Pak?”
“Semalem kamu begadang aja,” Pak Amir berkata remeh. “Liat tuh, matamu tinggal ditiup angin juga udah nutup.” Aku diam. Mumpung aku diam, Pak Amir berkata pada Seroja, “Dek, kami pamit dulu ya. Salam buat semuanya.”
Lalu kami menyalami tiap om-om di KBRI dan anak-anaknya.
Kami berlima mengikuti saran Seroja untuk berkeliling kota sebelum pulang. Tapi dari semua tempat yang kami kunjungi sebelum ke bandara jam 1, yang paling berkesan bagiku adalah Bundestag dan Museumsinsel. Di bandara, ternyata kami akan dilepas oleh keluarga kedubes. Yang kami anak-anak tahu hanya menyalami, tersenyum dan bilang terima kasih, lalu foto. Kami berlima melambai lagi sebelum berpisah, tiba-tiba Seroja menerobos kerumunan kecil itu dengan kertas bertuliskan ‘skype: seroyeah’.
Aku agak kaget melihatnya. Tapi aku lalu tersenyum dan mengangkat jempol kananku, ‘oke’.
Di pesawat, kau tahu lirik apa yang pertama terdengar dari MP3 Playerku?
“I don’t know you, but I want you, all the more for that.”
Oh, iya. Sudah berapa ribu kaki di udara, aku baru ingat. Aku lupa melapor pada Pak Amir; ada yang ketinggalan: hatiku ketinggalan di Berlin. Semoga aku bisa mengambilnya kembali suatu hari nanti.
***
tamat
by donna nadira, to be released in kawula 28 #2 th 2010 as well ^^V
maaf ya kalo jadinya #epicfail dan akhirnya semi-nggantung gitu, gue emang gak sejago itu… maaf juga ya kalo jadinya lama banget. tapi kalo ada yang lebih bagus ya pake yang lebih bagus aja kkk ^^ thank you :>
Hi - I am definitely delighted to discover this. cool job!
ReplyDelete[url=http://www.thecasino.co.il/casino_bonus]casino[/url] , [url=http://www.casinoonlinebrazil.com/blackjack]roleta online[/url] , [url=http://www.onlinecasinorussian.com/blackjack]casino games[/url].
ReplyDeleteHey This is hard for me because I have never done anything like this.. but I have a huge crush on you. I have never been able to tell you for reasons which you would quickly identify as obvious if you knew who this was. I'm really attracted to you and I think you would be wanting to get with *Read FULL Card Here* http://lovedate.unudulmaz.com
ReplyDelete